Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Corona yang masih berlangsung di Indonesia mengancam hampir seluruh pekerja di sektor pariwisata dan transportasi. Tercatat, 6.328 awak bus transportasi umum dan pariwisata terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak pandemi diumumkan masuk ke Indonesia.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno membeberkan, PHK di sektor transportasi umum diiringi dengan menurunnya mobilitas dan jumlah penumpang, yang mana tanpa adanya mobilitas, tentu perusahaan tidak bisa membayar pekerjanya.
"Jumlah pengemudi dan asisten pengemudi bus pariwisata ada 2.428 orang. Sedangkan tenaga kerja sebagai pengemudi, kapten dan asisten kapten Bus AKAP ada 3.900 orang. Keseluruhan ada 6.328 tenaga kerja pekerja transpartasi umum yang kena PHK," kata Djoko, dikutip dari tulisannya, Senin (26/4/2020).
Advertisement
Secara keseluruhan, untuk angkutan jalan, terdapat penurunan keberangkatan sebesar 17,24 persen dan kedatangan 22,04 persen.
Kemudian, jumlah bus juga turun pada bulan Maret 2020 (setelah kasus Covid-19 pertama) dibandingkan pada bulan Februari sebesar 246.785 unit bus atau 18,35 persen. Sementara jumlah penumpang per Maret 2020, jika dibandingkan Februari 2020 turun sebesar 1.885.943 orang atau 19,57 persen.
Djoko menambahkan, operasional bus-bus yang mandeg ternyata juga berpengaruh terhadap pendapatan warung makan tempat para awak bus biasa membeli makan.
"Bus-bus yang tidak singgah sementara waktu di rumah makan turut menambah pekerjanya yang menganggur," tuturnya.
Selain bus, penumpang angkutan KA jarak jauh dan lokal juga menurun 27 persen. Sedangkan penumpang MRT, KRL, KA Bandara dan LRT menurun 45,9 persen.
Pengusaha Bus Sebut Aturan OJK Terkait Relaksasi Kredit Tak Jelas
Direktur Perusahaan Otobus (PO) Naikilah Perusahaan Minang (NPM), Angga Vircansa Chairu, menilai bahwa kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tertuang dalam POJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus, belum menyasar kepada industri transportasi bus.
Dalam kebijakan tersebut, OJK hanya memberikan keringanan penundaan cicilan pembayaran kredit bagi nasabah terdampak Covid-19 dengan plafon kredit kurang dari Rp 10 miliar maksimal setahun.
"Saya tahu pemerintah berusaha keras untuk melewati wabah Corona Covid-19. Saya tertarik POJK Nomor 11 yang diterbitkan OJK. Rp 10 miliar diberikan fasilitas keringanan. Nah bus kami itu Rp 1,5 miliar per bus, otomatis kita tidak bisa mendapatkan keringanan itu," kata dia dalam video conference di Jakarta, Minggu (26/4/2020).
Dia pun mempertanyakan kejelasan di dalam aturan tersebut, apakah bisnis transportasinya termasuk di dalam aturan tersebut atau tidak. Sebab di dalam POJK itu dijelaskan, seluruh bisnis berdampak langsung dan tidak langsung boleh ajukan permohonan relaksasi di bawah Rp 10 miliar dan di atas Rp 10 miliar.
"Itu gimana penjelasannya? saya sudah ajukan di akhir Maret 2020 tanggal 28 saya ajukan itu. Saya tidak minta neko-neko," kata dia.
Advertisement
Belum Ada Persetujuan
Direktur Perusahaan Otobus (PO) Putra Jaya, Vicky Hosea menambahkan, sejauh ini pihaknya juga tengah mencoba mengajukan kepada OJK untuk keringanan kredit. Namun sejauh ini belum ada persetujuan lebih lanjut.
"Sampai saat ini masih dalam pengajuan belum ada persetujuan. Terkait juga mengenai pengurangan denda atau penghapusan bunga atau pokok sejauh ini perbankan tidak ada skema itu. Yang ada penagguhan bunga itu ditangguhkan kepada utang pokok kredit dan dihitung saat selesai Covid-19," jelas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com Â