Kronologi Pengusiran Dirut Inalum oleh Anggota DPR saat Rapat

Anggota komisi VII DPR, Fraksi Partai Demokrat, Muhammad Nasir menyoroti masalah pendanaan Freeport ke Dirut Inalum Orias Petrus Moedak.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 03 Jul 2020, 10:15 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2020, 10:15 WIB
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Orias Petrus Moedak
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Orias Petrus Moedak. (Liputan6.com/Athika Rahma)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau MIND ID, Orias Petrus Moedak terlibat debat panas dengan Komisi VII DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan holding tambang BUMN, Selasa (30/6/) lalu.

Dalam rapat ini, anggota komisi VII DPR, Fraksi Partai Demokrat, Muhammad Nasir menyoroti masalah pendanaan Freeport. Sebab, selama ini DPR belum mendapat kejelasan mengenai hal tersebut yang terkait dengan proyek MIND ID, termasuk pelunasan utang akuisisi saham Freeport 51 persen hingga pembangunan smelter.

Orias kemudian menjawab pertanyaan dari Nasir dan membeberkan bahwa terdapat surat utang dengan tenor beragam, hingga paling lama yang mencapai 30 tahun.

"Jadi waktu membeli Freeport itu memang harganya waktu itu USD 3,85 miliar, dan kami melakukan pinjaman penerbitan obligasi, waktu itu USD 4 miliar dengan bunga rata-rata sekitar 6 persen, atau kita harus membayar bunga kurang lebih USD 240-250 juta tiap tahun, dan utang kami itu ada yang tempo 3 tahun, 5 tahun, 10 tahun, dan 30 tahun," beber Orias.

Merespon jawaban Orias, Nasir menilai jangka waktu tersebut sangat panjang dan kembali mempertanyakan bagaimana skema pembayaran kedepannya, dan kemungkinan terburuk jika belum ada income yang dapat dibayarkan hutang.

"Jadi sampai 30 tahun kalau perusahaan lancar baru selesai? Kalau kita mati tak selesai nih barang nanti, ganti dirut lain, lain-lagi polanya," kata Nasir.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Utang Jatuh Tempo

Wakil Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Orias Petrus Moedak mendatangi Kementerian BUMN hari ini, Senin (25/11/2019).
Wakil Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Orias Petrus Moedak mendatangi Kementerian BUMN hari ini, Senin (25/11/2019).

Melihat situasi akibat Covid-19 ini, Orias memperkirakan apabila operasional MIND ID tidak juga membaik dan tidak bisa membayar utang dengan jatuh tempo yang paling dekat, yakni 2021 dan 2023, maka diperlukan skema pendanaan baru.

"Untuk yang 3 tahun dan 5 tahun, kami melihat covid-19 ini kami memperkirakan apabila ini berdampak negatif pada operasi kami, akan kesulitan bagi kami untuk mencari pendanaan untuk yang USD 1 miliar yang jatuh tempo tahun depan," kata Orias.

"Jadi kami sejujurnya masuk ke pasar kemarin untuk melakukan refinancing untuk yang jatuh tempo 2 tahun ini dalam 2021 dan 2023. Jadi kami menerbitkan pinjaman USD2,5 miliar dan kami refinancing yang akan jatuh tempo di dalam 2021 dan 2023, jadi setengahnya kami bayar. Jadi USD 1 miliar kami pakai untuk membayar setengah dari utang di 2021. Kemudian USD 500 juta lagi utang 2023," urainya.

Menanggapi rencana ini, Nasir menilai pembiayaan utang dengan utang baru tidak masuk akal. Sebab, rencana ini akan membutuhkan sokongan dana atau utang baru untuk membayar utang yang lama, yang akan habis jatuh temponya. Sehingga, menurut Natsir, perlu dibentuk pansus untuk mengurai pendanaan Freeport.

"Saya sarankan soal Freeport dan pembelian saham maupun penambahan utang itu buat Pansus saja. Kalau nggak, ini (negara bisa) tergadai nanti," kata dia.

Nasir menilai, langkah untuk membayar hutang lama dengan mencari utang baru adalah hal yang keliru dan tidak akan ada habisnya. Apalagi manajemen Freeport menjelaskan bahwa hingga 2021, Freeport memang belum bisa mendapat pemasukan. Sehingga kemungkinan menambah utang semakin besar.

"Utang bayar utang, untuk apa kita beli saham kalau kita bayar utang lagi. Kan udah ribet ini jadinya. Bayar bunga, belum pokok. Lalu, kalau produksi labanya tidak mencukupi, dari mana untuk membayar," ujar Nasir.

Dirut Inalum Diusir

Anggota Komisi VII DPR RI Muhammad Nasir
Anggota Komisi VII DPR RI Muhammad Nasir

Berdasarkan pemantauan Liputan6.com melalui TV Parlemen, Nasir terus menanyakan kesiapan MIND ID menghadiri rapat tersebut. Dia sempat meradang dan mengancam mengusir Dirut MIND ID dari ruang rapat karena jawaban yang dilontarkan soal pembiayaan utang tidak memuaskan anggota dewan.

"Harusnya bapak sekali, bapak gini saya suruh bapak keluar dari ruangan ini. Karena enggak ada gunanya bapak di sini. Anda bukan main main DPR di sini. Anda kalau rapat harus lengkap bahannya. Enak betul anda di sini," katanya Nasir sambil menggebrak meja.

Tak berhenti di situ, Nasir bahkan mengancam akan mengirimkan surat kepada Menteri terkait untuk meminta penjelasan mengenai utang BUMN ini.

"Kalau Anda enggak senang Anda keluar, Anda pikir ini punya saudara Anda ini semua. Ini punya negara bukan punya pribadi. Saya bicara disini atas nama negara. Bahannya harus lengkap. Anda jelasin selengkap lengkapnya di sini. Kamu pikir negara ini utang yang bayar siapa? Kamu? Enak betul Anda ngomongnya. Bila perlu menterinya ke sini. Saya kirim surat secara pribadi."

Orias pun terus menjawab pernyataan-pernyataan Nasir. "Saya tidak main-main. Saya diundang, saya datang," kata Orias.

Terkait dengan opsi pembiayaan utang, sementara Freeport belum akan menghasilkan income dalam waktu dekat, Orias mengatakan bahwa jika memang harus utang, maka hal itu akan dilakukan.

"Kalau harus berhutang lagi dan ada yang memberikan utang, itu termasuk salah satu opsi," jawab Orias.

"Oh kalau peminjam, dipinjamkan terus ini barang," sahut Natsir.

"Utang (buat) bayar utang ini, pinjam uang untuk bayar utang, hasil untungnya buat bayar utang," pungkas Natsir.

Nasir yang geram terus mencecar Orias dan meminta respon yang masuk akal.

"Ini orang suruh utang, utang lagi, utang lagi. Saya minta diganti dirut ini. Saya kirim surat pribadi dari fraksi, nanti kami bicara Fraksi Demokrat. Saya akan kirimkan Pak Erick sebagai menteri BUMN," tegas Nasir yang sudah naik pitam.

Kondisi Memanas

Rapat Dengar Pendapat ‎(RDP) Komisi VII DPR RI dengan pelaku industri minyak dan gas (migas), di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Rapat Dengar Pendapat ‎(RDP) Komisi VII DPR RI dengan pelaku industri minyak dan gas (migas), di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/4/2018).

Melihat kondisi semakin memanas, pimpinan rapat sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR, Alex Noerdin langsung menenangkan suasana, dan melanjutkan proses penyampaian pandangan dari anggota lain, serta mengingatkan kepada mitra DPR dalam hal ini pihak MIND ID untuk tidak melakukan sanggahan atau jawaban terlebih dahulu, sebab memang agendanya adalah Rapat Dengar Pendapat.

Sebagai informasi, debat panas ini terjadi bahkan sejak Orias belum memberikan pemaparan. Mulanya, berawal dari kesiapan materi dari MIND ID yang seharusnya diserahkan H-3 rapat sesuai peraturan RDP, namun justru diserahkan pada hari-H. Sehingga anggota Komisi VII belum sempat melakukan pendalaman.

Bahkan, Anggota Komisi VII dari Fraksi PAN, Abraham Lunggana alias Haji Lulung sempat meminta agar rapat ditunda karena materinya belum didalami. Namun Pimpinan Rapat menghargai kehadiran para mitra, sehingga rapat tetap dilanjutkan.

Akhirnya Orias dipersilahkan untuk memaparkan materi yang sudah disiapkan sesuai dengan agenda, yakni kinerja BUMN tambang di masa pandemi Covid-19, kontribusi BUMN tambang di masa pandemi Covid-19 dan proyeksi pendapatan pemerintah sebelum dan sesudah akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia.

Orias menyampaikan bahwa setoran kepada negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak tahun ini diproyeksi merosot 50 persen dibanding tahun lalu. Sampai dengan kuartal I-2020, realisasi setoran holding tambang ke kas negara baru mencapai Rp 2,3 triliun, terdiri dari pajak Rp 1,5 triliun dan PNBP Rp 876 miliar.

Sampai dengan akhir tahun, kontribusi holding tambang diyakini akan tetap berada pada level yang sama. Dengan demikian, sampai dengan akhir tahun ini kontribusi holding tambang terhadap penerimaan negara diproyeksi hanya mencapai Rp 10 triliun - Rp 11 triliun. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan realisasi setoran holding tambang ke penerimaan negara pada tahun 2019 yang mencapai Rp 22,9 triliun.

"Kontribusi kuartal I-2020 Rp 2,3 triliun. Kami berharap akan flat di level ini sampai akhir tahun, Rp 10 triliun - Rp 11 triliun. Jadi terjadi penurunan 50 persen," tutur Orias.

Menurutnya, penurunan kontribusi penerimaan negara tersebut diakibatkan anjloknya permintaan dan harga jual mayoritas produk anak usaha holding.

"Misalnya, alumunium pada awal tahun harga diproyeksikan bisa menyentuh 1.894 dollar AS per ton, namun realisasinya hanya mampu di level 1.500 dollar AS per ton," tutur dia.

Berdasarkan data yang ia miliki, hanya emas saja yang mengalami kenaikan harga di pasar global. "Dan bauxit yang cenderung stagnan," kata Orias.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya