RUU Cipta Kerja Dibutuhkan untuk Pulihkan Ekonomi Nasional

Dengan disahkannya RUU Cipta Kerja bisa mendorong terjadinya pemulihan ekonomi di Tanah Air pasca pandemi.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Agu 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2020, 15:00 WIB
Demo Tolak Omnibus Law di Gerbang Pemuda
Massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) membawa poster saat berunjuk rasa di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Dalam aksinya mereka menolak rencana pengesahan RUU Cipta Kerja atau omnibus law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Rektor Universitas Padjadjaran Rina Indiastuti menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mampu menjawab segala kebutuhan sektor ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Paling tidak dengan disahkannya RUU ini bisa mendorong terjadinya pemulihan ekonomi di Tanah Air pasca pandemi.

"RUU ini bisa juga menjawab urgensi kebutuhan kita. Kita ingin investasi bisa lebih tumbuh sehingga kalau investasi tumbuh kesempatan kerja tumbuh maka itu ada Cipta Kerja," kata dia dalam webinar, di Jakarta, Jumat (28/8/2020).

RUU Cipta Kerja ini sangat penting untuk dipertimbangkan. Karena dengan pandemi Covid-19 yang tidak tahu kapan berakhirnya, sepanjang vaksin dan obat belum ditemukan maka yang terdampak signifikan selain krisis kesehatan juga pertumbuhan ekonomi.

Pada kuartal II 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi negatif 5,32 persen. Bahkan banyak peneliti dan pemerhati memprediksikan bahwa kuartal III juga bisa negatif. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan yang bisa terus mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Dan biasanya pertumbuhan ekonomi itu didorong oleh adanya investasi jadi cofid-19 ini memang kita lihat investasi turun maka tantatangannya bagaimana," kata dia.

Dia menambahkan, stuasi penciptaan lapangan kerja ke depan itu berubah dibandingkan situasi sebelum pandemi Covid-19. Penciptaan lapangan kerja mendatang akan menghadapi transformasi. Misalnya saja adalah mungkin hilangnya jenis pekerjaan tertentu dan bisa saja itu menyangkut teman-teman buruh.

"Beberapa pekerjaan yang sifatnya tenaga pabrik dan sebagiannya karena dengan kecepatan era digital maka tentu beberapa pekerjaan juga pasti akan hilang. Tantangannya bukan hanya sekedar menciptakan investasi menciptakan lapangan kerja tapi adalah jenis pekerjaan apa sebetulnya yang di dalam RUU Cipta Kerja ini betul-betul diantisipasi menjadi peluang kita untuk recovery ekonomi pasca pandemi covid 19," tandas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan video pilihan berikut ini:

RUU Cipta Kerja Diyakini Mampu Genjot Serapan Tenaga Kerja

Ribuan Buruh Geruduk Gedung DPR Tolak Omnibus Law
Buruh saat melakukan aksi di depan Gedung DPR RI, Jakrta, Selasa (25/8/2020). Aksi tersebut menolak draft omnibus law RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada DPR. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyatakan, kemudahan investasi yang digaungkan melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) akan menjadi stimulus untuk menyerap tenaga kerja.

"Kalau dilihat rules-nya, pemerintah ingin buat lapangan kerja semakin banyak lewat jalur investasi, melalui RUU Cipta Kerja," katanya saat dihubungi, Kamis (27/8/2020).

 

Meski demikian, dirinya mengingatkan, kemudahan investasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah. Kian banyak investasi yang datang bakal meningkatkan serapan tenaga kerja secara merata di dalam negeri.

Tantangan yang dihadapi juga kian besar. Karenanya, pemerintah harus segera menyeleksi investasi yang diizinkan masuk setelah RUU Ciptaker disahkan. Disarankan mengutamakan industri padat karya mengingat pengangguran menjadi persoalan yang tengah dihadapi.

"Kalau tidak, serapan tenaga kerjanya akan minim," tambah dia.

Heri mengungkapkan, rasio investasi di Indonesia kini tergolong besar terhadap produk domestik besar, sekitar 32 persen. Tertinggi pertama dari konsumsi rumah tangga (55%).

Sayangnya, ungkap dia, kontribusi investasi tersebut kurang signifikan terhadap serapan tenaga kerja. Pangkalnya, sebagian besar tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM), seperti industri digital dan keuangan.

"Investor yang di sektor manufaktur, contohnya sektor jasa dan barang, itu kontribusinya semakin kecil, semakin melandai," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya