Faisal Basri: Indonesia Defisit Energi di 2021

Ekonom Senior, Fasial Basri memperkirakan defisit energi di Tanah Air akan terjadi pada tahun 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Agu 2020, 13:10 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2020, 13:10 WIB
lustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior, Fasial Basri memperkirakan defisit energi di Tanah Air akan terjadi pada tahun 2021. Bahkan hingga 2040 defisit energi potensinya diperkirakan mencapai hingga USD 80 miliar.

"Di 2021, energi kita sudah defisit. 2040 defisitnya potensi mencapai 80 miliar USD. Jadi omong kosong 2045 emas," kata dia dalam diskusi di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (31/8).

Defisit tersebut bertolak belakang. Padahal konsumsi energi Indonesia terbesar di antara negara berkembang dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Tahun lalu, pertumbuhan konsumsi energi Indonesia sekitar 4,9 persen dengan pertumbuhan penduduk masih di atas 1 persen.

"Bagi negara yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi, konsumsi energinya juga tinggi, Indonesia salah satu dari sedikit negara yang konsumsi energinya naik kencang. Kebutuhan energi kita akan luar biasa dibanding negara lain dunia," kata dia.

Di sisi lain produksi energi, ditopang terutama oleh minyak dan gas (migas), yang turun secara konsisten. Dalam waktu 7 sampai 8 tahun akan habis jika tidak ada penemuan baru.

"Cadangan kita turun terus dari waktu ke waktu. Kita satu satunya negara produsen minyak yang konsisten turun. Gas juga turun. Tahun lalu turun hampir 50 persen cadangan gas itu," kata dia.

Meski begitu, neraca energi Indonesia masih surplus karena ditolong batu bara. Tahun lalu, ekspor batu bara mencapai USD 20,6 miliar, sehingga transaksi energi secara keseluruhan masih surplus USD 8,2 miliar. Hanya saja secara sumber daya masih minim.

"Natu bara kita eksportir terbesar kedua di dunia. tapi resources kita sangat kecil. Kita eksportir kedua terbesar setelah Australia padahal cadangan kita sedikit. Sekalipun energi terbarukan tidak berarti volume minyaknya turun," tandas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kebijakan Energi Alternatif Perlu Didorong demi Defisit Terjaga

Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Pemerintah diharapkan segera menerapkan kebijakan energi alternatif yang terintegrasi dan konsisten. Ini mengingat kebijakan energi juga akan turut mendukung ketahanan cadangan devisa.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finaance (Indef) Ucok Pulungan mengatakan, energi alternatif lain dimaksud selain gas seperti energi angin maupun air.

Dia mengingatkan, meski dari sisi program banyak namun dari sisi dampak dan juga penggunaan masih sangat minim.

"Misal, sebenarnya pembangkit listrik tenaga bayu sudah dikembangkan di Sulsel. Tinggal diperbanyak. Program energi alternatif lain udah ada, karena itu jangan lagi menjadi wacana saja," kata Ucok di Jakarta.

Dia juga mengingatkan, pelemahan nilai tukar Rupiah selain dampak kebijakan impor BBM tinggi juga karena kebijakan di sektor rill.

Misalnya ekspor yang rendah lalu kebergantungan pada jasa asing dan aliran modal ke negara lain dari pendapatan investasi.

Sementara dari sisi moneter, BI sudah cukup baik mengawal rupiah. Jadi, kalau sektor rillnya tidak beres, rupiah akan terdepresisi. Alhasil, perlu kebijakan yang berjalan bersamaan.

"Dalam kaitannya dengan BBM, maka terkait dengan impor. Namun pemerintah sudah berupaya dengan penggunaan B20. Sedikit banyak sudah terlihat dari penurunan volume impor BBM sepanjang 2019," ucapnya.

Harga BBM murah dengan subsidi, juga bisa membuat program energi alternatif selain fosil bisa menjadi lambat. Memang, ada tendensi kalau harga BBM murah, insentif untuk mengembangkan energi alternatif jadi tidak menarik. "Itu yang selama ini terjadi. Tapi, saat harga BBM naik, baru kita panik," ucap Uchok.

Uchok menilai, dalam penentuan harga BBM, perlu mempertimbangkan berbagai aspek termasuk pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Memang, ada koreksi harga nilai tukar dan juga penurunan harga minyak, tetapi harus tetap hati-hati dalam mengambil kebijakan harga BBM.

Ucok mengingatkan, saat ini lebih penting mendorong daya beli masyarakat tetap terjaga agar ekonomi lebih berputar, konsumsi rumah tangga tidak anjlok. Caranya, menekan inflasi pangan lewat operasi pasar di daerah, juga memastikan pendapatan masyarakat terjaga.

Reporter: Dwi Aditya P

Sumber: Merdeka.com 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya