BI Beli SUN di Pasar Perdana Rp 48,03 Triliun Hingga September 2020

Pembelian surat utang ini sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Sep 2020, 19:00 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2020, 19:00 WIB
Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Bank Indonesia. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) membeli surat utang di pasar perdana, dalam rangka mendukung pemerintah pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sampai tanggal 15 September 2020 jumlah surat utang yang dibeli bank sentral yakni Rp 48,03 triliun.

"Sampai dengan 15 September 2020, Bank Indonesia telah membeli SBN di pasar perdana melalui mekanisme pasar sebesar Rp 48,03 triliun," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/9/2020).

Pembelian surat utang ini sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020. Termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private Placement.

Terkait realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan Public Goods dalam APBN oleh Bank Indonesia melalui mekanisme pembelian SBN secara langsung berjumlah Rp 99,08 triliun. Untuk itu, Pemerintah dapat lebih memfokuskan pada upaya akselerasi realisasi APBN untuk mendorong pemulihan perekonomian nasional.

Selain itu, Bank Indonesia juga telah merealisasikan pembagian beban dengan Pemerintah untuk pendanaan Non Public Goods-UMKM sebesar Rp 44,38 triliun. Hal ini sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 7 Juli 2020.

Perry menyebut, pihaknya akan terus memperkuat sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal Pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Bank Indonesia melanjutkan komitmen untuk pendanaan APBN Tahun 2020 melalui pembelian SBN dari pasar perdana dalam rangka pelaksanaan UU No.2 Tahun 2020.

Baik berdasarkan mekanisme pasar maupun secara langsung sebagai bagian upaya mendukung percepatan implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi.

Tonton Video Ini

Hingga Pertengahan September, BI Tambah Likuiditas Perbankan Rp 662 Triliun

Cek Jadwal Kegiatan Operasional dan Layanan Publik BI Selama Mitigasi COVID-19
Ilustrasi Bank Indonesia.

Bank Indonesia (BI) mengumumkan kondisi likuiditas yang lebih dari cukup. Sehingga terus mendorong penurunan suku bunga dan kondusif bagi pembiayaan perekonomian.

Hingga 15 September 2020, Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing/QE) di perbankan sekitar Rp 662,1 triliun. Terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyebutkan, longgarnya kondisi likuiditas mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK. Yakni 29,22 persen pada Agustus 2020 dan rendahnya suku bunga PUAB overnight, sekitar 3,31 persen pada Agustus 2020.

“Longgarnya likuiditas serta penurunan suku bunga kebijakan (BI7DRR) berkontribusi menurunkan suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Agustus 2020. Dari 5,63 persen dan 9,47 persen pada Juli 2020 menjadi 5,49 persen dan 9,44 persen,” kata dia dalam video konferensi Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI - September 2020, Kamis (17/9/2020).

Sementara itu, imbal hasil SBN 10 tahun pada Agustus-September 2020 meningkat dari 6,83 persen pada Juli 2020 menjadi 6,87 persen pada Agustus 2020 dan 6,92 persen per 15 September 2020. Hal ini sejalan dengan proses penyesuaian pelaku asing di pasar keuangan domestik.

Dari besaran moneter, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Agustus 2020 meningkat menjadi 19,3 persen (yoy) dan 13,3 persen (yoy) terutama didorong dampak ekspansi operasi keuangan pemerintah.

“Ke depan, ekspansi moneter Bank Indonesia yang sementara ini masih tertahan di perbankan diharapkan dapat lebih efektif mendorong pemulihan ekonomi nasional sejalan percepatan realisasi anggaran dan program restrukturisasi kredit perbankan,” kata Perry.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya