Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Khalawi Abdul Hamid, menyoroti realisasi pemberian stimulus terkait sektor perumahan yang telah diberikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni berupa subsidi Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Menurut dia, pemberian stimulus KPR tersebut belum banyak bantu memulihkan kegiatan ekonomi di sektor industri properti yang lesu akibat wabah pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Kalau stimulus subsidi kan sudah diberikan dan dampaknya belum optimal untuk menggerakan industry properti perumahan," ujar Khalawi kepada Liputan6.com, Sabtu (26/9/2020).
Advertisement
Sebelumnya, OJK pada April 2020 lalu telah menyalurkan keringanan berupa pembebasan angsuran pokok maupun bunga untuk KPR. Restrukturisasi kredit itu berlaku bagi debitur KPR untuk rumah tipe 21, tipe 22 hingga tipe 70.
Lebih lanjut, Khalawi mengatakan, Kementerian PUPR telah memberikan sehumlah usulan stimulus baru dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN), termasuk di sektor perumahan. Namun, ia belum bisa merinci apa saja usulan stimulus tersebut.
"Kementerian PUPR telah menyampaikan beberapa usulan bentuk stimulus. Mungkin usulan PUPR itu yang sedang dikaji oleh BKF," ungkap dia.
Khusus untuk bidang perumahan, Khalawi optimistis stimulus tersebut jika direalisasikan dapat menimbulkan efek berganda (multiplier effect) ke banyak lintas sektor, sehingga bantu mengangkat perekonomian nasional
"Saya yakin sektor perumahan salah satu strategi menjaga stabilitas perekonomian nasional, karena dapat menggerakan lebih dari 140 industri ikutan dan bergeraknya rantai pasok pembangunan perumahan dan property lainnya," tutur dia.
Tambah Stimulus, Pemerintah Bakal Gratiskan Biaya KPR?
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, buka kemungkinan jika pemerintah akan memberikan stimulus baru untuk sektor perumahan. Bantuan itu sejalan dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama pandemi Covid-19. Kendati demikian, Febrio belum merinci lebih lanjut bentuk stimulus perumahannya akan seperti apa. Mungkin saja itu berupa relaksasi atau pembebasan angsuran pokok maupun bunga untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maksimal Rp 500 juta.
Atau, pembebasan Pajak Penghasilan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana, dari 5 persen jadi 1 persen.
Namun, Febrio menyampaikan, stimulus baru tersebut masih sekadar usul yang belum diketahui pasti kapan akan dilaksanakan, apakah mulai tahun ini atau 2021.
"Ada beberapa usulan, (apakah) 2020 atau tidak harus 2020, tapi 2021? Beberapa yang sedang kami lihat adalah rumah," kata Febrio, seperti dikutip Sabtu (26/9/2020).
Febrio pun mengatakan, pemerintah belum menyiapkan skema stimulus perumahan tersebut secara spesifik, terlebih apakaha soal KPR.
Dari sudut pandang lain, ia juga menilai realisasi bantuan tersebut mampu memberikan efek ganda (multiplier effect), sehingga dapat turut menarik investasi dan menyerap banyak tenaga kerja.
"Kalau rumah, menariknya adalah itu bangunan. Sektor konstruksinya, multiplier-nya besar, mempekerjakan banyak orang," ungkap Febrio.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada April 2020 lalu telah menyalurkan keringanan bagi debitur imbas pandemi corona berkepanjangan. Salah satunya dengan menunda kewajiban membayar KPR.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan, KPR termasuk dalam jenis kredit yang bisa direstrukturisasi jika debitur terdampak pandemi. "KPRÂ terimbas Covid-19, baik langsung atau tidak langsung masuk ke restrukturisasi kredit," ujarnya beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, OJK memasang beberapa kriteria untuk para calon penerima manfaat. Diantaranya, KPR diberikan untuk pembelian rumah tipe 21, tipe 22 sampai dengan tipe 70.
Subsidi bunga juga diberikan untuk 6 bulan (April-September 2020). Untuk pembelian rumah kluster di bawah Rp 500 juta akan diberikan suku bunga sebesar 6 persen pada 3 bulan pertama, dan 3 persen pada 3 bulan kedua.
Sementara untuk KPR dengan kluster di atas Rp 500 juta-10 miliar, suku bunga ditetapkan sebesar 3 persen untuk 3 bulan pertama dan 2 persen untuk 3 bulan kedua.
Advertisement