Pandemi Covid-19 Percepat Proses Deglobalisasi

Pemerintah mengklaim Covid-19 hanya mempercepat pergeseran yang sedang berlangsung sejak krisis keuangan global terakhir.

oleh Tira Santia diperbarui 06 Nov 2020, 13:20 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2020, 13:20 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan Covid-19 hanya mempercepat pergeseran yang sedang berlangsung sejak krisis keuangan global terakhir.

Iman menjelaskan berdasarkan paparan peneliti The European Centre for International Political Economy (ECIPE) Razeen Sally bahwa pandemi Covid-19 mempercepat proses deglobalisasi yakni proses berkurangnya saling ketergantungan dan integrasi antara unit-unit politik di seluruh dunia.

“Munculnya 'merkantilisme baru' Di mana negara menjalankan kekuasaannya untuk mengontrol pasar di dalam negeri dan internasional, hal ini ada setelah 1945 tetapi dibatasi oleh perluasan pasar,”  kata Iman dalam diskusi online New Normal dalam Perdagangan Internasional, Jumat (6/11/2020).

Lanjut Iman, Pemerintah adalah solusi, bukan masalah, dimana semua Pemerintahan di seluruh dunia telah lelah dan khawatir dalam menghadapi Covid-19, sehingga ketergantungan yang lebih besar pada pemerintah dapat menyebabkan lebih banyak pembatasan dan kontrol.

Misalnya peran BUMN yang lebih besar, lebih banyak kontribusi pengadaan pemerintah terhadap PDB, tetapi juga pendekatan yang lebih kaku terhadap kerja sama internasional dalam perdagangan dan investasi.

Kemudian terkait arah keamanan atas efisiensi, keamanan persediaan seperti makanan, obat-obatan, suku cadang dan komponen elektronik dan lainnya, jika perlu memproduksinya sendiri. Namun perdagangan sedang dipikirkan kembali, sehingga mengurangi ketergantungan yang besar pada satu sumber pasokan.

“Bukan proteksionisme, hanya kebutuhan berdaulat dan independen dari sudut pandang industri menuju rantai pasokan yang lebih pendek yang memperkuat hubungan ekonomi lebih dekat ke rumah daripada melintasi samudra untuk negara-negara Asia Timur,” ujarnya.

Selain itu, perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang tertunda mungkin lebih realistis daripada hubungan di Pasifik seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership, atau lintas Atlantik antara AS dan UE.  

“Menuju 'sirkulasi ganda' yang dipimpin oleh China pada pertemuan Politbiro Mei yang menggabungkan "sirkulasi internasional" dan "sirkulasi internal ekspor dan konsumsi domestik sama pentingnya,” pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ekonomi Syariah Mampu Bertahan di Tengah Krisis Global

20161010-Perbankan-Syariah-Jakarta-AY
Pekerja menghitung uang di BNI Syariah Jakarta, Senin (10/10). Sejalan dengan perkembangan share tersebut, kenaikan aset perbankan syariah (BUS dan UUS) sebesar 18,49% (YOY), dari Rp 272,6 triliun menjadi Rp 305,5 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengatakan ekonomi syariah di Indonesia mampu bertahan di tengah krisis global akibat pandemi Covid-19.

Nilai-nilai ekonomi syariah yang mengedepankan keseimbangan, keadilan dan transformasi menjadi penopang dalam menghadapi krisis yang sedang terjadi.

"Meski inklusi keuangan tumbang di global dan nasional, tetapi ekonomi syariah malah positif," kata Budi dalam Opening Ceremony FESyar 2020: Mendorong Ekonomi Syariah Sebagai Salah Satu Pertumbuhan Baru Ekonomi Nasional, Jakarta, Senin (5/10/2020).

Daya tahan inilah kata Budi yang membuat ekonomi dan keuangan syariah bisa menjadi jalan keluar dari kondisi ekonomi yang serba sulit hari ini. Sebagaimana diketahui, pada kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi hingga minus 5,23 persen.

Kontraksi ini juga akan berlanjut pada kuartal ketiga di tahun yang sama. Meskipun kontraksi yang terjadi jauh lebih baik dari kuartal kedua.

"Ini sebagaimana prediksi pemerintah, pertumbuhan ekonomi akan kontraksi di triwulan ketiga ini, namun dengan kontraksi yang lebih baik dari sebelumnya," kata Dody.

Kondisi ini kata Dody tidak terlepas dari perbaikan perekonomian global yang mulai kembali membuka aktivitas ekonomi. Tentunya dengan menerapkan sejumlah protokol kesehatan untuk mencegah terjadinya kembali penyebaran virus corona.

Dody menilai pada paruh kedua tahun ini, perekonomian domestik juga mulai membaik. Seiring dengan berbagai program pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Baik itu dari stimulus fiskal, moneter dan program restrukturisasi bagi dunia usaha. termasuk juga penggunaan digitalisasi dan telekomunikasi.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya