Pengusaha Ritel Ngeluh, Orang Kaya Belum Mau Belanja

Sektor ritel modern tengah mengalami penurunan pendapatan sebagaimana yang dialami sektor usaha lainnya

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Nov 2020, 15:30 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2020, 15:30 WIB
20151217-Kemendag Wajibkan Peraturan SNI Kepada Pengusaha Ritel
Suasana di pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, (16/12). Aturan pencantuman tersebut selain bagi importir atau produsen, juga diwajibkan bagi pedagang pengumpul. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, mengaku panic buying di awal pandemi Covid-19 membuat pengusaha ritel modern untung. Namun keuntungan ini berlangsung singkat, hanya selama 2-3 hari saja.

"Waktu panic buying itu 2-3 hari bagus buat kita," kata Roy dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Efek Resesi di Tengah Pandemi, Jakarta, Sabtu (7/11/2020).

Kala itu dia memastikan berbagai produk kebutuhan masyarakat tersedia dalam jumlah yang cukup. Sehingga masyarakat tidak perlu berbelanja dalam jumlah besar karena takut kehabisan bahan makanan.

Namun setelahnya sektor ritel modern juga mengalami penurunan pendapatan sebagaimana yang dialami sektor usaha lainnya. Kunjungan masyarakat ke ritel modern menurun. Hingga kini pengunjung yang berbelanja juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan pola konsumsi.

"Setelah itu sampai saat ini kondisinya belum kembali yang dalam posisi normal," ungkap Roy.

Ini sejalan dengan indeks konsumsi yang dirilis Bank Indonesia, sektor konsumsi menjadi hal fundamental. Indeks penjualan riil masih minus dibawah 10 persen. Mulai ada kontraksi positif namun terbilang masih rendah.

"Ada kontraksi positif, tapi ini angkanya masih single digit, sekitar 5-6 persen," kata dia.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Menahan Belanja

Kebutuhan saat pandemi virus corona
Perusahaan ritel di Indonesia menghadapi tantangan selama pandemi virus corona/ Mehrad Vosoughi from Pexels

Roy menjelaskan masyarakat yang berbelanja di ritel modern terbagi menjadi dua. Mereka yang berada di kelas ekonomi menengah atas dan kelas ekonomi menengah.

Dari berbagai kesempatan, masyarakat kelas ekonomi lemah kehilangan daya beli karena beberapa hal, salah satunya berkurangnya pendapatan. Sementara itu, mereka yang berada di kelas ekonomi menengah masih menahan diri untuk berbelanja.

Sebagai kelompok yang dianggap memiliki pemahaman edukasi yang lebih baik, mereka jadi lebih berhati-hati saat berbelanja. Di tengah ketidakpastian ini, mereka memiliki hanya berbelanja kebutuhan pokok saja.

"Kelompok menengah atas ini menahan diri untuk belanja. Mereka punya uang tapi lebih membelanjakan ke produk kesehatan dan bahan pokok," kata dia.

Dia menambahkan kebijakan PSBB juga ikut memengaruhi jumlah kunjungan masyarakat ke ritel modern. Saat PSBB kunjungan masyarakat hanya 1-15 persen dari kondisi normal. Sementara saat masa PSBB transisi kunjungan masyarakat ke ritel modern menjadi 25 persen dari kondisi normal.

"Jadi ini karena PSBB yang juga mengganggu dan menahan orang untuk berbelanja," kata dia mengakhiri.

Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya