Wamen BUMN Harap Suku Bunga Kredit Tetap di Bawah 10 Persen Pasca Covid-19

Suku bunga kredit diharapkan bisa terus turun di bawah 10 persen seperti harapan pelaku industri perbankan.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 02 Des 2020, 16:00 WIB
Diterbitkan 02 Des 2020, 16:00 WIB
20160516-Laporan Keuangan Bank Mandiri- Kartika Wirjoatmodjo-Jakarta-Angga Yuniar
Dirut Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo saat menyampaikan paparan kinerja triwulan I-2016 Bank Mandiri, Jakarta Senin (16/5). Bank Mandiri memperoleh laba operasional sebesar Rp 9,7 triliun hingga akhir Maret 2016. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyoroti tren penurunan suku bunga kredit di tengah terpangkasnya cost of fund dan melimpahnya likuiditas perbankan.

Tiko, sapaan akrabnya, berharap suku bunga kredit bisa terus turun di bawah 10 persen seperti harapan pelaku industri perbankan. Tren tersebut bahkan diharapkan terus berlanjut hingga era pandemi Covid-19 usai.

"Harapannya setelah nanti konsolidasi perbankan ini semakin baik pasca covid, diharapkan suku bunga kredit bisa ada di kisaran di bawah 10 persen," ujar Tiko dalam sesi teleconference, Rabu (2/12/2020).

Menurut pengamatannya, perbankan di Indonesia sebenarnya termasuk yang tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pandemi Covid-19. Meski di sisi lain pendapatan pelaku industri bank turun sekitar 20 persen.

"Namun diharapkan akan ada istilahnya Nike shoot recovery. Jadi di 2020 dan 2021 ini ada penurunan, namun akan meningkatnya lagi cukup tajam. Jadi ini kayak lambang Nike," kata Tiko.

Secara proyeksi, tren penurunan pendapatan bank berakhir pada 2021 mendatang. Sebab selama pandemi corona bank harus melakukan restrukturisasi kredit sehingga ada penurunan pendapatan pokok dan bunga.

"Tapi after covid nanti perbankan juga diperkirakan akan menjadi sektor yang cepat rebound, karena kita lihat likuiditas perbankan menunjukan bahwa daya beli masyarakat cukup besar," jelas Tiko.

"Jadi masalahnya lebih ke confidence terhadap kesehatan. Begitu kesehatan bisa dijawab permasalahannya, harapannya masyarakat cukup punya dana untuk lakukan spending. Terutama untuk barang-barang besar seperti rumah," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

BI Rate Sudah Dipangkas 225 Basis Poin, Mengapa Bunga Kredit Tak Kunjung Turun?

BI Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan di 5 Persen
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RGD) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (19/12/2019). RDG tersebut, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 5 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bank Indonesia (BI) menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen persen pada 19 November 2020. Dihitung dari awal tahun, suku bunga acuan BI telah turun 1,25 persen. Sedangkan jika dihitung dari Juni 2019, penurunannya sudah mencapai 2,25 persen.

Namun sayangnya, hingga saat ini penurunan suku bunga acuan tersebut belum berpengaruh besar ke suku bunga perbankan baik di sisi simpanan maupun pinjaman. BI pun meminta perbankan untuk segera menurunkan suku bunga kredit agar bisa mendorong pemulihan ekonomi dengan cepat.

Lalu hal apa saja yang menyebabkan industri perbankan sulit menurunkan suku bunga kredit?

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, terdapat 3 hal yang menyebabkan perbankan sulit menurunkan suku bunga kredit mengikuti bunga acuan BI.

“Kita ketahui BI itu sudah menurunkan suku bunga acuan sudah 225 basis poin, diantaranya dari 6 persen menuju 4 persen, dan sekarang 3,75 persen. Dalam kurun waktu setahun ini ternyata suku bunga bank pinjaman itu bergesernya masih sedikit,” kata Tauhid kepada Liputan6.com, Minggu (22/11/2020).

Ia melihat tren penurunan kredit tidak terlalu signifikan, bisa dikatakan dari penurunan 225 basis poin itu dibutuhkan 3-4 bulan agar perbankan menurunkan suku bunga kredit.

Berikut 3 alasan perbankan kesulitan menurunkan suku bunga kredit menurut Tauhid. Pertama ia melihat biaya operasional perbankan masih relatif tinggi yakni 85 persen. Jika biaya operasional masih tinggi dalam menjalankan kegiatan usahanya maka Hasrat bank untuk menurunkan suku buka tidak efisien.

“Karena tidak efisien otomatis biaya operasional yang dikeluarkannya tinggi dan bank akhirnya tidak mau menurunkan suku bunganya,” ujarnya.

Kedua, pendapatan dari bank itu secara garis besar 2/3 berasal dari kredit. Katakanlah kalau bank turunkan drastis suku bunga sementara perbankan memiliki biaya operasional tinggi dan bergantung pada kredit otomatis mereka tidak berani menurunkan suku bunga secara drastis.

Ketiga, Net interest margin (NIM) bank itu masih besar yakni di Agustus masih 4,3 persen begitupun dengan September 2020 juga hampir sama.

“Nah dengan situasi tersebut itu menandakan bank mendapatkan manfaat dari suatu manfaat perbedaan suku bunga tadi, katakanlah dari suku BI ke suku bunga modal kerja itu masih 4,3 persen, perbedaan suku bunga dan nilai-nilai keuntungan bank di situ,” jelasnya.

Sehingga bank tidak mau menurunkan suku bunga itu lebih dari 4 persen, masih terhitung berat karena dipengaruhi oleh biaya operasionalnya tinggi. Otomatis perbankan tidak mau menurunkan NIM lagi.

“Kalau bisa NIM diturunkan lagi supaya suku bunga investasi dan modal kerjanya bisa ditekan, kalau NIM ditekan ya perbankan harus melakukan efisiensi yang perlu dilakukan itulah alasan bank sulit menurunkan suku bunganya,” pungkasnya. 

Infografis Protokol Kesehatan

Infografis Jangan Lengah Protokol Kesehatan Covid-19
Infografis Jangan Lengah Protokol Kesehatan Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya