Liputan6.com, Jakarta - Realisasi sementara subsidi pupuk mencapai Rp 34,23 triliun sepanjang 2020. Angka ini 139,59 persen dari pagu APBN Perpres Nomor 72 tahun 2020.
Mengutip dari Buku APBN KiTa Kementerian Keuangan, kelebihan realisasi subsidi ini disebabkan adanya penambahan volume pupuk sekitar 1 juta ton pada Oktober 2020. Selain itu sebagai akibat dari pembayaran yang kurang pada tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, realisasi sementara PSO sebesar Rp 4,74 triliun atau 97,18 persen dari pagu anggaran. Lalu subsidi kredit program sebesar Rp 31,08 triliun (56,45 persen dari anggaran APBN) dan subsidi pajak sebesar Rp 14,93 triliun (125,02 persen dari APBN).
Advertisement
Rendahnya persentase realisasi PSO dan kredit program dipengaruhi beberapa hal. Antara lain, lambatnya penagihan dan proses verifikasi yang menjadi dasar pembayaran subsidi.
Sementara itu, tingginya persentase realisasi subsidi pajak disebabkan oleh adanya percepatan realisasi selama tahun 2020.
Sampai akhir Desember 2020, realisasi sementara subsidi non-energi sebesar Rp 87,37 triliun. Angka ini sudah mencapai 90,62 persen dari pagu APBN Perpres Nomor 72 Tahun 2020.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan berikut ini:
Subsidi Pupuk Gagal Dongkrak Produksi Pangan, Asosiasi: Impor Naik 19,6 Juta Ton
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa turut mengkritik subsidi pupuk yang gagal meningkatkan produksi pangan hasil pertanian. Di sisi lain, kebijakan tersebut justru meningkatkan angka impor pangan hingga 19,6 juta ton dalam waktu 10 tahun.
Dwi Andreas Santosa coba mewajari kebijakan subsidi pupuk yang pertama kali dimulai sekitar 30 tahun lalu, ketika akses transportasi ke wilayah tanam di pelosok yang belum terbuka.
"Itu sudah 30 tahun yang lalu. Sekarang ini akses infrastruktur untuk pertanian ini sudah tidak ada masalah yang begitu berarti. Mengapa hal tersebut masih dipertahankan?" ungkapnya kepada Liputan6.com, Selasa (12/1/2021).
Merujuk hal tersebut, Guru Besar Pertanian IPB ini lantas menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada masa awal pemerintahannya untuk mengkaji ulang aturan subsidi pupuk.
Menurut dia, daripada mensubsidi pupuk yang merupakan input dalam proses produksi, lebih baik alokasi anggarannya diberikan langsung kepada petani.
"Kalau menurut saya ngapain (subsidi pupuk), lalu hasilnya apa. Pak Jokowi nyinggung-nyinggung subsidi pupuk 10 tahun enggak ada hasilnya. Ya memang data menunjukan itu," ujarnya.
Terkait data, ia coba mengutip importasi 8 komoditas pangan utama pada 2008 yang hanya 8 juta ton. Namun 10 tahun kemudian pada 2018, angka tersebut naik menjadi 27,6 juta ton.
"Bisa dibayangkan dalam tempo 10 tahun impor meningkat 19,6 juta ton. Lalu wajar saja kalau pak Jokowi menanyakan, terus selama 10 tahun subsidi pupuk ini apa hasilnya. Hasilnya ya impor meningkat 19,6 juta ton untuk 8 komoditas utama," tuturnya.
Lebih lanjut, Dwi Andreas juga menampik dugaan bahwa penyaluran subsidi pupuk yang masih tinggi dikarenakan adanya perubahan pola tanam dari satu kali dalam 1 tahun menjadi dua atau tiga kali.
"Bukan masalah itu. Subsidi pupuk itu paling tidak sudah hampir 10 tahun terakhir ini didasarkan pada RDKK, rencana definitif kebutuhan kelompok," tegasnya.
Advertisement