Tarif Angkutan Petikemas Domestik Lebih Stabil Meski Terbebani Pandemi

Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan biaya ekonomi di sektor pelayaran dunia melonjak tajam.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2021, 13:41 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2021, 13:40 WIB
Pelindo
Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) salah satu unit Terminal Petikemas ekspor/impor yang dioperasikan oleh Pelindo 3 di Semarang Jawa Tengah telah sukses menerapkan sistem Single Submission

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan biaya ekonomi di sektor pelayaran dunia melonjak tajam. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh berkurangnya lalu lintas kapal pengangkut petikemas ke berbagai pelabuhan dunia akibat terbatasnya aktivitas ekonomi.

Ketua Forum Angkutan Logistik Masyarakat Transportasi Indonesia, Ibrahim Khoirul Rohman mengatakan, kenaikan biaya angkutan petikemas selama pandemi Covid-19 telah membuat biaya logistik di Tanah Air semakin mahal.

Alhasil, frekuensi kapal pengangkut petikemas ke berbagai negara tujuan ekspor juga berkurang. Kondisi ini membatasi aktivitas ekspor-impor ke Indonesia melalui jalur laut.

Selama 2020 banyak perusahaan pelayaran yang mengurangi frekuensi pengiriman petikemas untuk efisiensi. Akibatnya freight rate pegangkutan petikemas ke luar negeri naik hingga empat kali lipat dibandingkan sebelumnya. "Ini yang semakin memberatkan ekonomi saat pandemi Covid 19," kata Ibrahim, di Jakarta, Selasa (26/1).

Ibrahim mengungkapkan, freight rate International mulai naik tajam pada kuartal III dan IV tahun ini. Sebut saja, misalnya, tarif freight rate ke India dari semula hanya USD 400 per teus (kontainer) menjadi USD1.300 per teus. Lalu, tarif angkut ke Brasil USD700 per teu jadi USD1500 per teus dan ke Eropa dari USD1.500 per teus jadi USD2.500 per teus.

Tentu saja, kata Ibrahim, kenaikan biaya freight rate rute ke luar negeri itu akan memukul eksportir di Tanah Air. Sebab, sebagian besar ekspor Indonesia tergolong low value comodity. Negara kita tidak mengekpsor high end product. Sebagian besar ekspor Indonesia adalah produk bahan mentah.

Kondisi tersebut, jelas memukul kemampuan eksportir Indonesia untuk melakukan pengiriman barang. Di sejumlah daerah, misalnya. Menurut Ibrahim, eksportir yang biasanya bisa melakukan pengiriman barang hingga 100 kontainer pasar luar negeri, tapi sejak tingginya biaya freight rate, mereka hanya bisa mengangkut sekitar 5-20 kontainer per bulan.

Pasalnya, lanjut Ibrahim, biaya freight rate rute internasional yang mahal itu, tidak memberikan kompensasi menarik terhadap value ekspor. Dia mencontohkan ekspor barang-barang raw material seperti bahan tekstil dasar yang belum diolah. Nilai pengiriman barang ini tidak seberapa dibandingkan besarnya tarif freight rate saat ini.

"Nah ini pukulan bagi eksportir kita di kuartal IV tahun lalu dan mungkin berlanjut di kuartal I 2021," imbuh Ibrahim.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ekspor Meningkat

PHOTO: Melihat Suasana Pelabuhan Terminal Peti Kemas Koja
Aktivitas truk petikemas di Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Throughput Terminal Peti Kemas diprediksi akan mencapai 1 juta TEUs (Twenty Foot Equivalent Unit’s) di penghujung 2017. (Liputan6.com/TPK Koja)

Pendapat senada diungkapkan Pengamat Maritim dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) Saut Gurning. Dia mengatakan, dalam sebulan terakhir sejak awal Desember 2020 hingga Januari 2021, freight kontainer ke luar negeri melonjak tajam, khususnya rute intra Asia.

Bahkan, kenaikan freight rate tertinggi hingga 25 kali lipat dibandingkan sebelumnya, terjadi pada rute ekspor tujuan pelabuhan Shanghai, Shenzen dan Xiamen Tiongkok.

Namun, berbeda dengan kondisi freight rate ke luar negeri, tarif angkutan kontainer di rute domestik relatif tidak mengalami gejolak yang luar biasa. Tarif angkutan ke berbagai pelabuhan tujuan di dalam negeri, bahkan sempat memgalami penurunan akibat berkurangnya aktivitas ekonomi di awal pademi Covid-19 tahun lalu.

Tapi, sejalan dengan menggeliatnya ekonomi domestik, biaya angkutan petikemas ke berbagai pulau di dalam negeri mulai pulih.

"Biaya angkutan peti kemas pelayaran domestik relatif stabil selama pandemi ini. Hal ini memberikan efek positif bagi ekonomi di daerah, mengingat lonjakan freight rate ke luar negeri sangat membebani ekonomi Indonesia," papar Saut.

Ibrahim menambahkan, stabilitas tarif angkutan di rute domestik, tak lepas dari adanya penerapan azas cabotage. Kebijakan ini berperan penting dalam menjaga lalu lintas pelayaran di dalam negeri. Karena, dengan hanya melibatkan kapal-kapal berbendera Indonesia dengan awak kapal warga negara Indonesia (WNI), aktivitas pelayaran cenderung stabil selama masa pandemi.

Berbeda halnya jika pelayaran asing bisa masuk ke berbagai pelabuhan di daerah. Kenaikan freight rate yang gila-gilaan bisa saja terjadi di angkutan domestik, karena kapal-kapal asing tidak banyak yang berlayar. "Makanya penting sekali bagi Indonesia untuk memperkuat pelayaran domestik," tegas Ibrahim.

Ia juga menilai, azas cabotage sangat berkontribusi dalam menjaga daya saing industri pelayaran dan maritim Nusantara. "Kebijakan ini mampu menjaga kemandirian industri domestik. Jangan sampai pihak asing mengendalikan bisnis pelayaran nasional," katanya.

Sebelumnya, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020, pemerintah tetap mempertahankan azas cabotage.

Ketentuan ini sebelumnya telah ada di UU Pelayaran nomor 17 tahun 2008. Penerapan azas cabotage ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendukung penguatan industri pelayaran nasional dan menjaga kedaulatan negara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya