Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka opsi pemberian izin vaksinasi mandiri Covid-19 guna mempercepat penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Namun, pemerintah diharapkan mempertimbangkan secara hati-hati terkait dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh skema ini bagi masyarakat luas.
Dalam diskusi virtual yang digelar oleh Persatuan Pelajar Iindonesia (PPI) United Kingdom pada Sabtu (30/1) pagi waktu London, perwakilan pelajar, akademisi, pemerintah, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjabarkan tantangan dan peluang implementasi vaksin Covid-19 di Indonesia, termasuk pro dan kontra wacana vaksinasi mandiri. Diskusi ini dimoderatori oleh Rizka Maulida, M.HSc., mahasiswa doktoral dari University of Cambridge.
Dalam diskusi tersebut, Asisten Deputi Agro, Farmasi, dan Pariwisata Kemenko Perekonomian, Ir. Dida Gardera, M.Sc., yang juga mewakili Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), menjelaskan bahwa vaksin mandiri bertujuan untuk mempercepat program vaksinasi di seluruh daerah di Indonesia yang pada akhirnya akan dapat memulihkan perekonomian. Dalam skema vaksin mandiri, sektor swasta akan diberikan akses untuk membeli vaksin untuk diberikan secara gratis kepada seluruh karyawannya.
Advertisement
“Jadi, korporasi nanti dapat membeli vaksin untuk karyawannya. [Tujuannya adalah] untuk percepatan dan pemerataan. Tapi wacana ini masih dalam proses kajian,” ujarnya dalam acara tersebut.
Mewakili para pelajar Indonesia di Inggris, dr. Fahrin Andiwijaya, mahasiswa master di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris, mengingatkan bahwa vaksin mandiri akan menimbulkan ketimpangan sosial dan merugikan kelompok sosial-ekonomi lemah.
“Vaksinasi mandiri dapat memperluas kesenjangan, karena hanya akan menguntungkan kelas menengah ke atas dan mereka yang bekerja di sektor formal. Istilahnya, yang bisa sehat hanya orang kaya saja. Ini tidak sesuai dengan Pancasila sila ke-5 tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata dokter yang juga merupakan akademisi di Fakultas Kedokteran Universitas Mataram itu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tidak Dibenarkan
Sementara itu, Sulfikar Amir, Ph.D., pakar sosiologi bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, menegaskan bahwa vaksin mandiri tidak bisa dibenarkan secara risiko dan etika, karena dikhawatirkan akan membawa unsur komersialisasi, dimana akan ada kelompok tertentu yang memonopoli suplai vaksin untuk kepentingan pribadi.
“Hal ini akan mengacaukan tahapan vaksinasi dan menganggu supply vaksin yang harusnya diberikan untuk kelompok prioritas. Proses vaksinasi akan terkonsentrasi pada kelas tertentu dibandingkan dengan kelompok lain yang rentan dan perlu didahulukan. Konsekuensinya, penanganan pandemi ini akan jadi lebih lama,” ungkap Sulfikar.
Dr. Hj. Nihayatul Wafiroh, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengungkapkan pihak pemerintah belum membuka diskusi dengan DPR terkait wacana vaksin mandiri. Namun, ia berharap vaksin Covid-19 tidak menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
“Vaksin mandiri memang akan meringankan beban negara, tapi jangan sampai masyarakat melihat ini kok diperjualbelikan. Apalagi sampai saat ini saja banyak daerah-daerah sulit dijangkau untuk pendistribusian vaksin,” tuturnya.
Dikejar waktu untuk vaksinasi masyarakat
Menurut Dida, Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa vaksinasi massal dapat diimplementasikan setidaknya 15 bulan. Namun, Presiden Joko Widodo ingin implementasi vaksin berjalan dalam 12 bulan sehingga target bisa cepat tercapai.
“Per tanggal 30 Januari 2020, ada 600.000 masyarakat yang seharusnya telah divaksinasi, tapi 100.000 orang diantaranya batal karena memiliki penyakit bawaan yang dinilai berisiko untuk menerima vaksinasi. Saat ini, setidaknya terdapat 13.655 fasilitas kesehatan yang tersedia untuk vaksinasi dan didukung oleh 30.000 orang tenaga vaksinator, sehingga seharusnya bisa mengejar target 900.000 hingga 1 juta vaksinasi per hari,” ungkap Dida.
Ia menambahkan, untuk mengejar target tersebut, dibutuhkan ketersediaan suplai vaksin yang berkelanjutan. Pemerintah menargetkan bahwa di bulan Maret atau kuartal kedua tahun 2021, jumlah vaksin sudah mencukupi kebutuhan.
Pemerintah, menurutnya, telah melakukan negosiasi dengan negara-negara penghasil vaksin Covid-19 and telah mengamankan sekitar 600 juta dosis vaksin, jauh di atas kebutuhan nasional yang berkisar 400 juta dosis.
Advertisement
Pemerintah akan Datangkan Vaksin Selain Sinovac
Hingga kini, vaksin Sinovac asal Cina menjadi satu-satunya vaksin Covid-19 yang telah masuk dan diimplementasikan di Indonesia. Namun demikian, Dida tidak memungkiri bahwa pemerintah juga sedang dalam tahap menjajaki kerja sama dengan produsen vaksin selain Sinovac, seperti AstraZeneca, Novavax, Pfizer, dan Moderna.
Menurut dr. Jarir At Thobari, Ph.D., dari Universitas Gadjah Mada, saat ini ada tujuh kandidat vaksin Covid-19 yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Akan tetapi, sulit dipastikan kapan vaksin-vaksin tersebut masuk ke Indonesia karena ada proses negosiasi dan penelitian, peruntukan, serta pertimbangan sarana prasarana dan ketersediaan infrastruktur.
“Setiap vaksin punya spesifikasinya tersendiri. Sinovac, misalnya, merupakan inactivated vaccine sehingga Bio Farma dapat mengembangkannya di sini. Kalau kita ingin mengembangkan vaksin dari Pfizer dan Moderna, teknologi kita disini tidak memungkinkan karena vaksin harus disimpan dalam suhu -20 derajat Celsius,” ungkap dr. Jarir.
Pesan PPI UK untuk PemerintahKetua PPI UK, Gatot Subroto, M.Si., mengungkapkan bahwa para pelajar Indonesia di Inggris Raya merasa perlu untuk memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebijakan vaksinasi di Indonesia. “Ada kebijakan di Inggris Raya yang bisa dijadikan pelajaran,” ungkap Gatot.
Sejalan dengan hal tersebut, dr. Fahrin yang menjadi pembicara mewakili pelajar di Inggris menyampaikan pesan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu transparan, didasarkan kepada sains dan bukti empiris, serta berperan dalam mengatasi kesenjangan.