Sri Mulyani Jelaskan Cara Pengelolaan Sumber Daya Alam Lewat SWF Indonesia

Untuk meningkatkan nilai aset, Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia bisa bekerja sama dengan pihak ketiga.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Feb 2021, 12:56 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2021, 12:45 WIB
Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuanga Sri Mulyani Indrawati (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Inddrawati menjelaskan, seluruh kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak akan dimasukkan ke dalam penyetaan modal Lembaga Pengelolaan Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia. Kekayaan alam dimaksud seperti bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Dia mengatakan, kekayaan alam tersebut hanya bisa dikuasakelolakan dalam bentuk perusahaan patungan. Di mana nanti LPI yang menjadi penentu utama.

"Perusahaan patungan ini LPI bisa menjadi memberikan penyertaan modal atau membentuk dengan melakukan penyertaan modal BUMN," kata dia dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (1/2/2021).

Bendahara Negara itu mengatakan, sebagai kekayaan negara yang dipisahkan perusahaan patungan bisa mengalihkan aset dalam bentuk jual-beli ke lembaga pengelola investasi, atau BUMN juga bisa melakukan jual beli dengan cara perusahaan patungan tersebut.

"Aset dapat dikuasai, dikelolakan kepada perusahaan patungan, di mana LPI tetap mempertahankan kedudukan sebagai penentu utama dari sisi kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan," jelasnya.

Sementara itu, untuk meningkatkan nilai aset, LPI bisa bekerja sama dengan pihak ketiga. Di antaranya adalah dengan membentuk badan usaha patungan antara LPI dengan partnernya. Baik dari dalam maupun dari luar negeri.

"Jadi dalam hal ini, kerja sama bisa dilakukan pada aset yang di atas dan pada saat membentuk perusahaan patungan," jelas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

SWF Berpotensi Genjot Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

FOTO: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Kuartal III 2020 Masih Minus
Pemandangan deretan gedung dan permukiman di Jakarta, Rabu (1/10/2020). Meski membaik, namun pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 masih tetap minus. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, pandemi COVID-19 membuat seluruh negara di dunia mencari cara agar lolos dari krisis yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyebut, sejumlah stimulus yang dilakukan beberapa negara di dunia.

"Negara di dunia menggelontorkan stimulus yang luar biasa. Ada yang menggunakan penurunan suku bunga acuan hingga berutang. Hasilnya, dunia pasca-COVID-19 akan kelebihan likuiditas dan kelebihan utang. Hal ini menyebabkan suku bunga di beberapa negara menjadi sangat rendah, sehingga investasi bisa saja menuju Indonesia," ujar dia di acara 7th Indonesia Islamic Economic Forum, Jumat (22/1/2021).

Untuk Indonesia, Budi menyebut, Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Investment Authority (INA) memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Terlebih dengan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat.

"SWF yang dibentuk di Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Apalagi ada faktor terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat akan melakukan normalisasi kebijakan domestik, dan hubugan internasional,” ujar Budi.

Selain itu, Budi memberikan contoh pada awal masa kepemimpinan Joko Widodo, pembangunan infrastruktur dipacu dengan kencang dengan menggandeng sejumlah perusahaan BUMN.

Tingkatkan Produktivitas

Oleh karena itu, BUMN dituntut untuk bisa melakukan recycle modal dengan cepat. Hadirnya, pandemi COVID-19 akhirnya membuat sejumlah utang yang dilakukan  peeusahaan BUMN menumpuk dan berpotensi menyebabkan proyek infrastruktur akhirnya mangkrak.

"Saat ini terjadi kelebihan likuiditas di dunia, itu sebabnya inisiatif SWF sangat penting untuk mencegah tuir sebelum tajir, meningkatkan produktivitas, serta menyehatkan keuangan BUMN dan memperkuat ruang fiskal,” ujar dia.

Sebelum pandemi COVID-19, Budi mengatakan, 11 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disisihkan untuk membayar bunga pinjaman, dan akhirnya  melonjak menjadi sekitar 21 persen saat ini.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya