Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah terbayangkan memiliki sebidang tanah namun tak memegang secara fisik sertifikatnya?. Hal inilah yang tengah menjadi inovasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mulai 2021. Sertifikat tanah elektronik namanya.
Melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021, pemerintah mengeluarkan aturan baru mengenai bukti kepemilikan tanah dalam bentuk sertifikat tanah elektronik.
Bila dulu pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan secara konvensional, kini berubah jadi digital. Baik itu pendaftaran tanah pertama kali, maupun pemeliharaan data.
Advertisement
Menteri ATR sekaligus Kepala BPN Sofyan Djalil menekankan, produk digital seperti sertifikat tanah elektronik sebenarnya yang paling aman.
Sebagai pembanding, penerbitan surat bank dan bukti pembelian saham yang telah diproses secara digital.
"Dulu kita punya bank itu harus ada buku, sekarang buku sudah enggak ada lagi. Dulu kita beli saham di pasar modal, ada lembaran saham. Kalau kita jual harus diteken di belakang. Sekarang diubah menjadi saham digital, tidak ada lagi terjadi kekeliruan yang signifikan," jelas dia, Kamis (4/2/2021).
Dia pun membantah anggapan jika pemberlakuan sertifikat tanah elektronik ini serta merta diiringi penarikan sertifikat tanah lama dalam bentuk kertas di masyarakat.
"Yang pasti BPN tidak akan pernah menarik sertifikat tanah. Yang ada sertifikat yang ada tetap berlaku sampai nanti dialihkan ke media elektronik," tegas Sofyan Djalil.
Dikatakan jika pemberlakuan sertifikat ini berlangsung bertahap. Hasil pendaftaran tanah secara elektronik ini berupa data, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik, berisi data pemegang hak, data fisik dan data yuridis bidang tanah yang valid dan terjaga autentikasinya.
"Produk dari pelayanan elektronik ini seluruhnya akan disimpan pada Pangkalan Data Sistem Elektronik," jelas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian ATR/BPN, Yulia Jaya Nirmawati.
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR Himawan Arief Sugoto, buka-bukaan tujuan utama pengadaan sertifikat elektronik, demi memudahkan pelayanan pada masyarakat.
"Benefit pertama adalah kemudahan transaksi, kemudahan pelayanan. Pengecekan secara elektronik kan itu akan lebih cepat," ungkap dia.
Pemakaian sertifikat elektronik turut berdampak pada perputaran ekonomi. Bagi negara, keuntungan didapat berupa PNBP yang bisa meningkat hingga 10 kali lipat berkat sertifikat elektronik.
Ciri-Ciri
Terkuak tentang wujud dari sertifikat tanah elektronik. Berdasarkan gambar yang diunggah Kementerian ATR melalui akun resminya di Instagram, memperlihatkan sertifikat elektronik juga bisa dilihat dari smartphone.
Sertifikat tanah elektronik ini dilengkapi Nomor Identifikasi Bidang (NIB), yaitu Single ID yang menjadi referensi seluruh kegiatan pendaftaran tanah. Nomor identifikasi ini berada di bagian atas.
Sertifikat ini juga memiliki hash code atau kode unik atas dokumen yang diterbitkan dan disambungkan dengan edisi penerbitan dokumen elektronik.
Pada sertifikat tersebut juga terdapat QRCode yang digunakan untuk mengakses informasi langsung Sertipikat melalui sistem yang disediakan kementerian.
Perbedaan lain dengan dokumen kertas, sertifikat ini dilengkapi pola garis halus bergelombang yang menjadi latar belakangnya yang disebut menunjukkan pola pelayanan yang berkelanjutan.
Kemudian ada logo kementerian ditempatkan di tengah, ditambah pola tulisan warna merah pada sisi kiri dokumen.
Seperti halnya dokumen penting elektronik lain, sertifikat tanah elektronik ini juga dilengkapi tanda tangan elektronik.
Kementerian ATR/BPN menyebut tanda tangan elektronik ini memiliki desain classic modern, yaitu bentuk spesimen tanda tangan dilengkapi cap kantor pertanahan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ketentuan dan Proses
Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR, Dwi Purnama mengungkapkan proses masyarakat bisa memiliki sertifikat tanah elektronik.
Bila mengacu pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021, penerbitan sertifikat tanah elektronik berlaku untuk pendaftaran tanah pertama kali untuk tanah yang belum terdaftar.
Sedangkan penggantian sertifikat analog menjadi sertifikat elektronik untuk tanah yang sudah terdaftar, berlaku secara suka rela saat masyarakat datang ke kantor pertanahan atau saat mengurus jual beli dan sebagainya.
Patut diingat, jika pengurusan sertifikat elektronik bebas biaya alias gratis. Staf Khusus Menteri ATR/BPN Bidang Kelembagaan, Teuku Taufiqulhadi, menjamin masyarakat tak perlu mengeluarkan uang pengurusan untuk mendapatkan tanah elektronik.
Masyarakat disebutkan hanya membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai biaya normal balik nama atau permohonan sertifikat baru.
"Pasti tidak ada biaya. Yang ada PNBP, itu hal yang biasa saja. Di luar itu tidak ada," kata Taufiq kepada Liputan6.com.
Rencananya, pengadaan sertifikat tanah elektronik akan berlangsung dulu di 2 kota, yakni Jakarta dan Surabaya. Kedua kota itu akan menjadi pilot project program peralihan sertifikat tanah elektronik ini.
Jaminan Keamanan
Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Virgo Eresta Jaya menegaskan keamanan penggunaan sertifikat tanah elektronik.
"Ini adalah cara kita meningkatkan kemananan, karena dengan elektronik, kita lebih bisa menghindari pemalsuan, serta tidak dapat disangkal dan dipalsukan," tutur dia.
Di dalam sertifikat elektronik terdapat tanda tangan elektronik. Di mana, ketika penandatangan digital dilakukan, operasi kriptografi melekatkan sertifikat digital dan dokumen yang akan ditandatangani dalam sebuah kode yang unik..
Seluruh proses pengamanan informasi menggunakan teknologi persandian seperti kriptografi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Advertisement
Pekerjaan Besar Pemerintah
Selain masyarakat, banyak pihak bersuara tentang keberadaan sertifikat elektronik ini. Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, mengingatkan Pemerintah agar kebijakan sertifikat tanah elektronik tidak menyebabkan masalah serupa seperti kebijakan e-KTP.
“Kita semua berharap penyelenggaraan dilaksanakan secara akuntabel dan transparan dengan melibatkan seluruh pihak terkait, sehingga tidak mengulangi kesalahan seperti dalam penyelenggaraan E-KTP,” kata Mardani saat dihubungi Liputan6.com.
Langkah pemerintah mentransformasi sistem pelayanan pertanahan dari konvensional ke digital, harus berlangsung hati-hati dari sisi pelaksanaan teknis.
Secara prinsip kebijakan ini diakui upaya peningkatan pelayanan publik dan meminimalisasi kasus-kasus pertanahan di Indonesia.
Namun pemerintah perlu menjelaskan kepada publik secara detail. Mulai dari wujud dokumen, mekanisme dan lainnya. Serta sumber pendanaan dari sistem baru ini, karena membutuhkan dukungan SDM serta pengembangan teknologi informasi.
Sarannya, sertifikat tanah elektronik ini terhubung langsung dengan NIK dengan hak akses yang terbatas. Sekaligus bentuk mewujudkan sentralisasi data raya.
Anggota Komisi II DPR RI Surahman Hidayat menilai kebijakan baru ini memerlukan sosialisasi masif kepada masyarakat, agar tidak ada kesalahpahaman dalam implementasinya.
Dia mengaku dapat banyak pertanyaan dari masyarakat. Pertanyaan seperti soal penarikan sertifikat tanah yang sudah ada. Banyak distorsi informasi, karena dinilai tidak ada penjelasan yang cukup.
Sosialisasi Permen ATR/BPN No 1 Tahun 2021 seharusnya sudah dilakukan dalam tahap perumusan, sehingga ketika kebijakan ditetapkan tidak menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat.
Sorotan lain tentang akses jaringan informasi dan pemahaman masyarakat terkait teknologi terutama di daerah.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun turut berpendapat. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, menyambut baik kebijakan sertifikat tanah elektronik karena dinilai positif di tengah era digital saat ini.
"Saya belum tahu seperti apa konsepnya, tapi dengan era digital saat ini maka itu menjadi hal yang positif," kata Tulus.
Kehadiran sertifikat tanah elektornik ini akan menjadi opsi yang baik untuk menghindari kejadian-kejadian tak diinginkan seperti hilang, terbakar, dicuri atau terendam banjir. Bentuk dokumen elektronik yang bisa kapan pun diakses dinilai lebih aman.
Kendati demikian, ia menegaskan pemerintah tetap harus menjamin keamanan dokumen elektronik tersebut. Harus ada verifikasi kepemilikan yang sah atas sertifikat tanah sebelum dibuat ke dalam bentuk elektronik.
Butuh Mitigasi Risiko dan Perlindungan Khusus
Ternyata, menurut Pakar Hukum Agraria UI, Suparjo Sujadi, aturan sertifikat tanah elektronik sudah melalui berbagai tahapan dari internal BPN sejak 2017.
Seperti beleid Peraturan Menteri ATR No 5 tahun 2017 tentang layanan informasi secara elektronik. Kemudian Permen Agraria Nomor 3 tahun 2019 soal Penerapan tandatangan elektronik.
"Ini sudah mulai di announce tentang pendaftaraan akta, kode akta dan sertifikat elektronik. Sudah mulai ada pelayanan tanggungan secara elektronik. Itu peraturan menteri nomor 9 tahun 2019. Nah ini sebagai langkah berikutnya keluar kebijakan ini, sertifikat tanah yang bentuknya elektronik. Jadi kalau dilihat sudah ada tahapan-tahapannya ya," kata Suparjo saat dihubungi Liputan6.com.
Dia menjelaskan, bila sertifikat sudah berlaku elektronik, maka akan ada sistem yang mengikuti. Saat masyarakat mendaftar, kemudian akan memiliki Password.
"Si A bisa cek, tanah bagaimana kondisinya. Keluar deh catatannya dibeli tahun sekian, harga sekian, beli pakai kredit ada hipoteknya. Hanya orang ini saja yang bisa mengakses sebagai pemegang hak, di samping tentunya kementerian ATR sebagai pemegang database. Sama seperti sistem yang dipakai oleh pemerintah Belanda," ungkap dia.
Selanjutnya, sertifikat tanah elektronik diharapkan bisa memberikan manfaat lebih luas. Seperti sistem interkoneksi ke lembaga terkait dapat dilakukan agar pemegang hak sertifikat mudahan melakukan transaksi yang berbasis data elektronik.
"Menurut saya keamananan sangat ditentukkan dari sistem yang ada di sistem elektronik itu sendiri," imbuh Suparjo.
Koordinator Safnet, Damar Juniarto menilai sertifikat elektronik justru akan membuat masyarakat terhindar dari praktik kepalsuan data. Sebab pemilik bisa mengecek apakah sertifikat tersebut legal atau tidak.
"Idenya elektronik atau digitalisasi mengarah pada transparansi orang bisa senantiasa mengecek apakah sesuai datanya yang dia pegang fisiknya dengan elektroniknya. Kedua dari sisi keamanan juga lebih aman karena disimpan secara digital. Di situ meminimalisir risiko kebanjiran atau kebakaran atau bencana alam, kalaupun rusak fisiknya bisa ngurus lagi dan ngeprint," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Sekarang apakah digitalisasi sertifikat tanah seratus persen aman? Ia menegaskan belum tentu. Karena itu perlu adanya perlindungan secara khusus terhadap dokumen berharga tersebut.
"Kuncinya adalah harus ada mitigasi risiko dan perlindungan secara khusus untuk dokumen-dokumen terkait sertifikasi tanah, servernya harus tidak mudah dibobol orang, isi ubah orang, tidak membuka peluang itu dimanfaatkan oleh yang berniat mengunakan data tersebut untuk merugikan orang," dia mengingatkan.
Damar mengungkapkan pembajakan data masih rentan terjadi. Hal ini karena belum adanya perlindungan data pribadi dalam bentuk regulasi setingkat undang-undang.
Advertisement