Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus memastikan jaminan ketersediaan produk ternak. Terlebih, di masa pandemi yang sedang memasuki masa new normal atau kenormalan baru.
Untuk memenuhi kebutuhan dan menjamin ketersediaan produk pangan strategis atau ketahanan pangan asal hewan/ternak, pada tahun 2021 Ditjen PKH melaksanakan Program Utama, yaitu, Program Ketersediaan, Akses dan Konsumsi Pangan yang berkualitas dengan target produksi daging untuk 7 komoditas ternak sebesar 4,54 juta ton.
"Selain melaksanakan Program Utama, Ditjen PKH juga melaksanakan Program Prioritas yaitu Program Sapi/Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan), Korporasi Peternakan, Bank Pakan, serta Hilirisasi dan Ekspor Peternakan," ungkap Direktur Jenderal PKH, Nasrullah.
Advertisement
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pangan memang mengamanatkan pentingnya pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity), kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety).
Indikator ketahanan pangan secara sederhana dapat dilihat dengan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau sehingga masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
"Dengan demikian produk pangan asal hewan atau ternak sangat penting dalam ketahanan pangan utamanya untuk meningkatkan kecerdasan bangsa karena dalam pangan asal hewan terdapat asam amino yang tidak didapatkan dalam pangan asal tumbuhan," paparnya.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan (PPHNak), Fini Murfiani menjelaskan, komoditas pangan asal hewan yang strategis di antaranya adalah daging sapi/kerbau, serta daging dan telur ayam ras. Dikatakan strategis karena termasuk pangan asal hewan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat atau banyak dibudidayakan oleh peternak.
Fini mengatakan, secara umum, produksi daging dan telur ayam ras nasional sudah dapat memenuhi kebutuhan nasional bahkan mengalami surplus. Sedangkan untuk daging sapi/kerbau masih terjadi defisit, sehingga perlu dipenuhi dari impor dalam bentuk daging sapi/kerbau beku dan sapi bakalan.
Pada tahun 2020 konsumsi daging sapi/kerbau nasional sebesar 2,53 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhannya mencapai 681.180 ton, dengan produksi/stok dalam negeri sebesar 404.997 ton, maka masih terdapat defisit sebesar -276.183 ton.
Sementara, konsumsi daging sapi/kerbau tahun 2020 tersebut menurun dari perkiraan awal sebesar 2,66 kg/kapita/tahun atau -4,89%, akibat pandemi covid-19. Sedangkan, untuk tahun 2021 diperkirakan konsumsi daging sapi/kerbau nasional sebesar 2,56 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhannya mencapai 696.956 ton, dengan produksi/stok dalam negeri sebesar 473.814 ton maka masih terdapat defisit sebesar -223.142 ton.
"Defisit tersebut dipenuhi dari impor daging sapi/kerbau beku dan sapi bakalan. Pada tahun 2021 diperkirakan terjadi penurunan impor sebesar 13,01 persen dibandingkan impor tahun 2020 yaitu dari 324.019 ton menjadi 281.867 ton," ungkap Fini.
Untuk daging ayam ras pada tahun 2020, semula konsumsinya diperkirakan sebesar 12,79 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhannya mencapai 3,44 juta ton. Namun, akibat pandemi covid-19 konsumsi daging ayam ras menurun menjadi 10,10 kg/kapita/tahun atau -21,03%, sehingga kebutuhannya menjadi sebesar 2,72 juta ton.
Sebagai upaya menjaga stabilitas harga live bird atau ayam hidup di tingkat peternak, maka produksi harus disesuaikan dari 3,57 juta ton menjadi 3,22 juta ton, salah satunya melalui cutting HE DOC FS.
Sementara, untuk tahun 2021 untuk konsumsi daging ayam ras nasional diperkirakan sebesar 11,75 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhannya mencapai 3,20 juta ton; dengan produksi sebanyak 4,03 juta ton maka masih terdapat surplus sebesar 0,83 juta ton.
Lalu, untuk konsumsi telur ayam ras pada tahun 2020, pada perkiraan awal sebesar 18,16 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhannya mencapai 4,90 juta ton. Tapi, akibat pandemi covid-19 justru konsumsi telur ayam ras meningkat menjadi 18,35 kg/kapita/tahun atau 1,05%, sehingga kebutuhannya naik menjadi sebesar 4,95 juta ton.
"Kenaikan konsumsi/kebutuhan telur ayam ras ini diduga disebabkan terjadinya pergeseran konsumsi daging ayam ras ke telur ayam ras akibat Pandemi Covid-19," jelas Fini.
Untuk menjaga stabilitas harga, maka produksi menyesuaikan dari 5,04 juta ton menjadi 5,14 juta ton dengan cara memperpanjang masa produksi dari 92-93 minggu menjadi 95 minggu.
Sementara untuk tahun 2021 konsumsi telur ayam ras nasional diperkirakan sebesar 18,61 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhannya mencapai 5,07 juta ton, dengan produksi sebanyak 5,10 juta ton maka masih terdapat surplus sebesar 32,26 ribu ton.
Program Sikomandan
Lebih lanjut, Fini menerangkan, stabilisasi harga juga dilakukan dengan menerapkan program Sikomandan. Sikomandan dilaksanakan untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak melalui optimalisasi reproduksi ternak sapi/kerbau.
Pada periode 2019-2020 telah lahir sebanyak 4,13 juta ekor anakan sapi/kerbau dengan nilai setara Rp24,78 triliun (asumsi harga sapi lepas sapih Rp 6 juta per ekor) dengan anggaran yang dikeluarkan hanya sebesar Rp652,39 miliar.
Selain melaksanakan Program Sikomandan, untuk mencapai proporsi penyediaan daging sapi/kerbau dalam negeri sebesar 70% pada tahun 2024 maka perlu dilakukan upaya-upaya akselerasi peningkatan populasi dan produksi. Salah satu solusinya dengan menambah indukan sapi/kerbau dalam negeri melalui impor indukan.
Berdasarkan hasil simulasi dan parameter teknis, maka untuk mencapai kondisi tersebut perlu dilakukan impor indukan sapi sebanyak 2 juta ekor secara bertahap pada tahun 2021 hingga 2023. Potensi impor indukan tersebut berasal dari Mexico, Australia, Spanyol, USA, dan New Zealand.
Peningkatan populasi dan produksi daging sapi/kerbau melalui impor indukan ini juga diharapkan bisa menambah nilai ekonomi dari komoditas sapi/kerbau sebesar Rp61,7 triliun dan penyerapan tenaga kerja sebesar 26,9 juta orang pada periode tahun 2020 sampai 2024.
Kemudian, program prioritas kedua adalah Pengembangan Usaha Peternakan Berbasis Korporasi melalui, penguatan kelembagaan dan manajemen kawasan yang mencakup pencatatan asset, penguatan asset, tata kelola operasional, organisasi, perencanaan bisnis, dan pembentukan badan hukum dalam satu manajemen.
Lalu, melalui pengembangan skala dan jenis usaha yang mencakup peningkatan populasi dan skala usaha, kontinuitas produksi, pengembangan usaha lain-multi produk untuk meningkatkan efisiensi usaha.
Dan, pengembangan informasi dan penguatan jaringan pasar yang mencakup penguatan data base dan informasi, penguatan jaringan usaha dan pasar sehingga diharapkan dapat mewujudkan kontinuitas usaha.
Serta pengembangan investasi dan kemitraan mencakup integrasi pendanaan, optimalisasi dana desa, asuransi, aksesibilitas kredit program, pemanfaatan CSR/PKBL, kemitraan dengan pelaku usaha ternak/perusahaan besar sehingga diharapkan dapat terjadi peningkatan asset.
Salah satu contoh keberhasilan program ini adalah terbentuknya koperasi Brahman Sejahtera di Subang dengan skala usaha yang cukup besar. Di antaranya, usaha hijauan pakan ternak sebanyak 10 Ha atau 15 ton/hari dengan harga jual Rp500/kg dan akan bertambah 1.000 Ha dengan memanfaatkan lahan Perhutani.
Lalu, usaha pakan konsentrat sebanyak 6 ton/hari dengan harga jual Rp2.700/kg dan HPP Rp2.300/kg, dengan target pasar adalah anggota, peternak mitra, perluasan Bandung dan Jabodetabek.
Sementara itu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengimbau kepada masyarakat agar tidak khawatir akan terjadi kekurangan produk ternak di awal tahun. Lantaran, stok produk ternak yang ada, masih memadai untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat.
"Jadi kita tidak usah khawatir akan kekurangan. Dan jika kenaikan harga terjadi Kementan siap koordinasi dengan Kemendag mengontrolnya," ujar Mentan SYL.
(*)
Advertisement