Liputan6.com, Jakarta - Resesi yang terjadi pada 2020 merupakan resesi yang disebabkan karena kebijakan dalam negeri. Hal ini berbeda dengans sejarah resesi sebelumnya yang disebabkan karena dampak atau pengaruh dari luar negeri.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indra Darmawan menjelaskan, resesi yang terjadi di 2020 karena kebijakan pembatasan sosial yang dijalankan oleh pemerintah. Langkah tersebut dilakukan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19.
Baca Juga
"Last year recession is one of kind? Ini seperti resesi yang kita bikin sendiri. Karena kita sendiri yang menyuruh kita tidak bergerak, kita sendiri yang menyuruh kita diam di rumah, kita sendiri yang membatasi," terangnya dalam webinar bertajuk "Indonesia Economic, Investment and Development: The Great Reset and Future Prospects", Rabu (3/3/2021).
Advertisement
Akibat berbagai kebijakan pembatasan sosial itu, otomatis berbagai aktivitas masyarakat termasuk ekonomi terganggu bahkan banyak yang macet. Walhasil, perekonomian Indonesia menjadi jatuh ke lubang resesi.
"Saat itu kapasitas tidak terpenuhi, ada (berlaku) 30 sampai 50 persen, sehingga break event poin tidak tercapai. Akibatnya ada layoff, plus masalah kesehatan serius," bebernya.
Maka dari itu, dia menegaskan, biang kerok resesi 2020 bukan diakibatkan oleh sentimen eksternal. Sehingga resesi ini menjadi yang pertama dalam 150 tahun terakhir yang murni disebabkan oleh sentimen internal.
"Jadi, kalau pakai historical perspektif, 150 tahun terakhir ada sekitar 14 resesi besar. Kalau resesi sebelumnya dipicu oleh world crisis, property crisis, monetary crisis, kolaps Leman Brothers, yang ini murni kita membatasi diri kita sendiri," pungkas dia.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV 2020 Minus 2,07 Persen, Indonesia Masih Resesi
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang 2020 terkontraksi minus 2,07 persen. Ini menandakan Indonesia masih terjebak dalam jurang resesi akibat pertumbuhan ekonomi negatif selama tiga kuartal beruntun.
"Pertumbuhan ekonomi kita secara kumulatif pada 2020 mengalami kontraksi 2,07 persen," kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam sesi teleconference, Jumat (5/2/2021).
Secara kuartalan (quarter to quartet/qtq), pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2020 mengalami kontraksi 0,42 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara secara tahunan (year on year/yoy), ekonomi Indonesia mengalami kontraksi minus 2,19 persen.
Meski sedikit mengalami perbaikan, capai tersebut otomatis membuat Indonesia masih terjebak resesi sepanjang tiga kuartal. Pada kuartal II 2020 ekonomi Indonesia terkontraksi minus 5,32 persen, dan minus 3,49 persen pada kuartal III 2020.
Suhariyanto mengatakan, catatan itu sekaligus menandakan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk pertama kalinya mengalami kontraksi pasca krisis moneter 1998.
"Untuk pertama kalinya Indonesia mengalami kontraksi sejak tahun 1998. Pada 1998 karena krisis moneter dan tahun 2020 mengalami pandemi," ujar dia.
Jika menilik catatan di 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya mengalami kontraksi lebih parah selama empat kuartal berturut-turut. Sehingga di sepanjang 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus 13,1 persen.
Nilai tukar rupiah turut terkena imbas, dengan melemah hampir delapan kali lipat dari Rp 2.500 per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp 16 ribu per dolar AS di masa itu.
Jika dibandingkan dengan 2020 lalu, nilai tukar rupiah juga sempat merosot jadi Rp 14.770 per dolar AS di masa awal pandemi Covid-19 pada Kamis (3/9/2020). Kurs rupiah juga sempat melemah hingga mencapai Rp 16 ribu per dolar AS, namun perlahan kembali menguat ke level Rp 14.120 per dolar AS pada 31 Desember 2020.
Advertisement