Liputan6.com, Jakarta Pandemi Covid-19 menjadikan semua pihak mau tidak mau melakukan efisiensi dengan cara mengadopsi teknologi, tak terkecuali industri perbankan.
Baca Juga
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat mengatakan, alasan kesehatan di masa pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama bergesernya pola transaksi masyarakat yang sebelumnya bersifat physical ekonomi menjadi virtual.
Advertisement
“Di masa pandemi ini kita juga melihat bahwa salah satu faktor yang memengaruhi keinginan masyarakat untuk menggunakan fasilitas tersebut karena alasan kesehatan dan menyebabkan terjadinya shifting behavior yang akan menggeser pola transaksi masyarakat yang sebelumnya bersifat physical menjadi virtual,” katanya dalam Webinar Akurat.co bertemakan ‘Peran Digital Banking dalam Percepatan Pemulihan Ekonomi’ di Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Fitria Irmi Triswati, dalam webinar yang didukung oleh Bank Indonesia, LPS, Bank BNI, dan Bank Mandiri ini, memaparkan tiga fakta digitalisasi keuangan yang patut dicermati. Pertama yakni pergeseran pola transaksi masyarakat. Menurutnya, ini dibuktikan dengan peningkatan signifikan pada transasksi e-commerce kemudian digital banking dan juga uang elektronik terutama sejak adanya pandemi Covid-2019.
Fakta kedua yakni berlanjutnya inovasi-inovasi baru yang dihasilkan oleh startup maupun fintech dan akselerasi transformasi digital, baik oleh pelaku bank, institusi keuangan non bank maupun berbagai perusahaan. Kemudian, fakta ketiga adalah semakin kuatnya persepsi investor serta berlanjutnya aliran modal untuk startup maupun fintech. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan pendanaan investor pada industri fintech yang cukup tinggi mencapai USD 2,19 miliar atau tumbuh lebih dari dua kali lipat dari tahun 2019.
"Pergeseran pola transaksi masyarakat jadi masyarakat ini semakin terbiasa untuk melakukan transaksi secara digital ditengah terbatasnya aktivitas fisik. Digitalisasi tentu berperan untuk mengurangi hambatan struktural. Jadi diharapkan mampu mengurangi permasalahan struktural juga disparitas,” lanjutnya.
Namun, kata Teguh, peningkatan transaksi digital bukan hanya disebabkan karena pandemi saja, namun memang sudah menjadi suatu keniscayaan bagi bank untuk tetap dapat bertahan dalam kompetensi di industri jasa keuangan yang semakin ketat.
“Sebagaimana diketahui perkembangan teknologi informasi pada dasarnya telah menjadi pembentuk bisnis perbankan dari masa ke masa diawali dengan teknologi yang hanya dimanfaatkan sebagai pembantu proses administrasi internal pada era bank 1.0 yang kemudian semakin berkembang pemanfaatannya dengan ditunjukkan dalam pelayanan kepada nasabah dengan penyedia online delivery channel pada era bank 3.0,” jelasnya.
Teguh juga menambahkan, dalam era 4.0 ini, bank juga dituntut semakin meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak hanya fokus pada pengembangan delivery channel, namun lebih menekankan kepada pengembangan utilitas atau fungsi bank dalam melayani kebutuhan nasabah dengan pemanfaatan teknologi dan juga pengetahuan terkini.
Untuk itu OJK menargetkan segera menerbitkan aturan dalam bentuk Peraturan OJK (POJK) guna mendukung pengembangan bank digital di tanah air pada tahun ini.
Meski demikian, diakui Teguh dengan peningkatan transaksi secara online oleh masyarakat pada akhirnya berdampak pada transaksi secara offline. Di mana terlihat dari tahun ke tahun terjadi peningkatan yang signifikan atas beberapa penutupan jaringan kantor perbankan serta penurunan signifikan atas pembukaan ATM.
“Ini adalah beberapa hal yang terdampak karena peralihan dari situasi atau perilaku masyarakat yang ke arah digital atau online sistem,” ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tantangan
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai tantangan perbankan kedepan berkaitan dengan digital banking yang terbesar adalah sumber dana. Pasalnya berdasarkan research, adanya perubahan perilaku kaum milenial yang lebih percaya untuk berinvestasi di reksa dana saham, dan obligasi.
Ia mengungkapkan, tren tersebut meningkat terus yakni kedepan transaksi yang awlanya 80% saat ini hanya 72%. Bahkan ia menyebutkan kedepan transaksi perbankan hanya tinggal 55%, mengingat 45% nya akan lari ke non bank baik itu asuransi, reksa dana atau obligasi saham. Bahkan Aviliani berpendapat bahwa bisa saja kedepan nasabah hanya menitipkan uang di bank untuk kemudian membeli saham.
"Nah ini tantangan bank kedepan sumber dana yang makin sulit, kalau sekarang kan over likuid karena kepercayaan masyarakat enggak bisa belanja juga ada PSBB makanya pertumbuhan dana jauh lebih rendah. Tapi rata-rata dalam kondisi normal selalu kredit tumbuh lebih tinggi dari dana," ujarnya.
Tantangan sumber dana ini terkait kebutuhan investasi yang cukup besar untuk mempersiapkan digital banking, hingga kolaborasi di dalam satu ekosistem. Ini mengingat konglomerasi perusahaan bank atau keuangan di Indonesia tercatat sebanyak 40 konglomerasi, menurut dia.
"Saat ini bukan lagi era bersaing. Sebab tanpa kolaborasi, maka perbankan hanya akan merugi. Nah ini yang mulai banyak dilakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu disini pemerintah juga harus membuat aturan baru. Ini menurut saya regulasi-regulai harus disiapkan terkait dengan ekosistem yang akan terjadi," pungkasnya.
Advertisement