HEADLINE: Utang Pemerintah Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun, Skenario Pengelolaannya?

BPK khawatir dengan utang pemerintah yang sudah tembus level Rp 6.000 triliun. Kemenkeu memastikan akan mengelola utang tersebut dengan hati-hati.

oleh Arthur GideonAndina LibriantyMaulandy Rizky Bayu KencanaTira Santia diperbarui 25 Jun 2021, 11:50 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2021, 00:00 WIB
Ilustrasi Utang
Petugas menata tumpukan uang kertas di ruang penyimpanan uang. Kemenkeu mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di angka Rp 6.527,29 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Utang pemerintah menjadi sorotan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah di angka Rp 6.418,15 triliun pada akhir Mei 2021. Posisi utang ini setara dengan 40,49 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dikutip dari buku APBN Kita, utang pemerintah ini didominasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,94 persen dan pinjaman sebesar 13,06 persen.

Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp 5.580,02 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 4.353,56 triliun dan valas Rp 1.226,45 triliun.

Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp 838,13 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 825,81 triliun.

Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp 316,83 triliun, pinjaman multilateral Rp 465,52 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp 43,46 triliun.

Besarnya utang negara menuai kewaspadaan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.

"Tren penambahan utang pemerintah dan penambahan bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara, sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," kata Ketua BPK Agung Firman Sampurna, di DPR pada Rabu 23 Juni 2021.

Dalam Catatan BPK, jumlah utang yang gigantik ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF).

BPK juga melihat pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.

Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.

Pandemi Covid-19 meningkatkan defisit utang dan silpa. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko pengelolaan fiskal.

"Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan Undang-Undang Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah," kata Agung.

Dia juga menjelaskan bahwa indikator kerentanan utang pada 2020 telah melampaui batas kerentanan yang direkomendasikan oleh IMF.

"Yaitu satu, rasio debt relief (pemutihan utang atau pembatalan utang) terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 sampai dengan 35 persen," jelas Agung.

 

Infografis Utang Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Utang Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rasio Bunga Utang

Menurut Agung, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara juga mencapai 19,06 persen.

Hal ini dianggap telah melampaui rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang hanya sebesar 4,6 sampai dengan 6,8 persen. "Dan rekomendasi IMF sebesar 7 sampai dengan 10 persen," katanya.

Sementara itu rasio utang terhadap penerimaan negara yang mencapai 369 persen, dianggap Agung juga telah melewati batas rekomendasi IDR dan IMF.

"Melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 sampai dengan 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen," jelasnya.

 

Video Headline

Kemenkeu: Jangan Khawatir

Ilustrasi Utang
Petugas menata tumpukan uang kertas di ruang penyimpanan uang. Kemenkeu mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di angka Rp 6.527,29 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa pemerintah akan terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara.

Dia memastikan, pemerintah selalu berhati-hati dalam setiap kebijakan, termasuk persoalan utang.

"Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) berfungsi sebagai instrumen kebijakan countercyclical dengan pembiayaan sebagai alat untuk menjaga ekonomi," kata Yustinus kepada Liputan6.com pada Kamis (24/6/2021).

Sejalan dengan itu, katanya, pemerintah juga meningkatkan upaya reformasi perpajakan untuk optimalisasi pendapatan negara.

Yustinus mengatakan, Kemenkeu mengapresiasi kerja keras BPK dalam melaksanakan audit dan memberi opini WTP untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, serta memberi rekomendasi bagi pengelolaan pembiayaan.

Hal ini, menurutnya, menunjukkan pemerintah selalu menjaga akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara, bahkan di masa pandemi.

Kemenkeu selama pandemi Covid-19 terus menegaskan bahwa keputusan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan countercyclical untuk memberi stimulus dalam menjaga ekonominya, yang berimplikasi ke pelebaran defisit.

Standar Aman

Dijelaskannya, IMF sendiri sudah memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25-30 persen per Produk Domestik Bruto (PDB) pada kondisi normal.

Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utang di kisaran itu. "Misalnya saja di akhir 2020, Indonesia 38,5 persen, Filipina 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korea Selatan 48,4 persen, dan Amerika Serikat 131,2 persen," ungkap Yustinus.

Yustinus menjelaskan, pemerintah pada 2020 telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary untuk menjaga pembiayaan pada kondisi aman serta upaya untuk menekan biaya utang dengan berbagai cara.

Salah satunya melalui kebijakan burden sharing dengan Bank Indonesia, sebagai wujud sinergi pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, yakni BI ikut menanggung biaya bunga utang.

Kemudian, juga ada kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yang mengubah pinjaman dalam US Dolar dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen dengan suku bunga tetap mendekati 0 persen. Sehingga ini mengurangi risiko dan beban bunga kedepan.

"Strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun 2020 yang dapat menekan yield SBN sekitar 250bps mencapai 5,85 persen di akhir tahun (turun 17 persen, ytd)," jelas Yustinus.

Adanya berbagai respons kebijakan tersebut, membuat ekonomi Indonesia pada 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibanding negara lain.

Selain itu, kata Yustinus, lembaga pemeringkat kredit internasional juga mengapresiasi pengelolaan ekonomi dan pembiayaan Indonesia selama ini dengan mempertahankan peringkat Indonesia, terutama di masa pandemi.

Kendati demikian, Yustinus menegaskan bahwa pemerintah akan terus waspada dan berhati-hati, kredibel dan terukur dalam pengelolaan pembiayaan.

"Sejalan dengan itu, pemerintah juga meningkatkan upaya reformasi perpajakan untuk optimalisasi pendapatan negara," tuturnya.

 

Masuk Level Bahaya, Pemerintah Harus Renegosiasi

Protes Utang Negara, Mahasiswa Bakar Ban di Depan Istana
Mahasiswa gabungan se-Jabodetabek saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Dalam aksinya mereka mengecam pemerintah Jokowi atas hutang negara yang melonjak, politik dagang sapi, diskon pajak 300 persen, dan krisis penegakan HAM. (merdeka.com/Iqbal S. Nugro

Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai, kondisi utang pemerintah Indonesia sudah masuk level membahayakan.

“Kondisi utang Pemerintah Indonesia ini sudah dalam level membahayakan atau mengkhawatirkan dilihat dari beberapa indikator,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (24/6/2021).

Hal itu terlihat dari debt to service ratio (DSR) atau kemampuan membayar utang Pemerintah dibanding penerimaan negara sudah di atas 50 persen pada 2020. Maka mengakibatkan Pemerintah harus membayar bunga utang yang lebih mahal untuk mendapatkan bunga pinjaman yang baru.

“Kenapa begitu? karena kalau kita melihat tren dari beban bunga utang yang harus dibayarkan itu jika dibandingkan dengan penerimaan pajak 2021 saja sudah mencapai 25 persen atau 19 persen dari penerimaan negara total ada pajak dan PNBP,” jelasnya.

Untuk penerimaan pajak saja, kata Bhima, seperempat dari penerimaan pajak sudah habis untuk membayar bunga utang sebesar Rp 373 triliun per tahun. Sehingga akan menjadi beban bukan hanya pada APBN tahun berjalan tapi sudah menjadi beban perekonomian dalam jangka panjang.

Bahkan Pemerintah menerbitkan surat utang yang tenornya jatuh tempo pada 2070, artinya sepanjang 50 tahun ke depan Indonesia masih akan terus melanjutkan pembayaran utang untuk menutup utang yang sedang jatuh tempo, kata Bhima.

Bhima menjelaskan, ternyata utang tersebut belanja paling besarnya bukan untuk belanja kesehatan, melainkan untuk belanja yang sifatnya birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang.

“Itu menjadi pemborosan tidak efektif ditambah program-program Work From Bali yang dilakukan oleh Kemenko Marves untuk mendorong pariwisata tapi programnya justru malah blunder. Selain menambah penularan covid-19 yang berikutnya lagi utang digunakan untuk perjalanan dinas untuk waktu yang tidak tepat, padahal bisa Work From Home,” ungkapnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini meminta pemerintah mewaspadai kenaikan utang dalam menangani pandemi Virus Corona. Sebab, peningkatan utang yang cukup besar bisa memicu krisis ekonomi.

"Apa konsekuensinya jika utang yang berat ini dibiarkan? APBN akan lumpuh terkena beban utang ini dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar. APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi," ujar Didik dalam risetnya.

Didik melanjutkan, utang Indonesia saat ini berjumlah Rp 8.670 triliun. Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dalam APBN sebesar Rp6.527 triliun, utang BUMN keuangan Rp 1.053 triliun dan non keuangan 1.086 triliun.

"Kalau 20 tahun lalu krisis 1998 dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang bisa dipicu oleh APBN yang berat digabung dengan krisis pandemi karena penanganan yang salah kaprah sejak awal," jelasnya.

Didik mengatakan, krisis bisa semakin berat jika dalam jangka pendek ini peningkatan kasus tidak bisa ditekan dan Amerika Serikat jadi menaikkan suku bunganya, maka posisi ekonomi Indonesia akan sangat sulit.

"Suku bunga utang akan terdorong naik, mesti bersaing sama obligasi USA. Sementara pajak kita masih rendah dan pembiayaan dari obligasi. Kalau tidak bisa bayar dalam jangka pendek kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia merosot," jelas dia.

Dia menambahkan, jika Indonesia masih dipercaya bisa mungkin masih mungkin untuk melakukan profiling utang. Selain itu bisa meminta untuk penangguhan utang. "Tetapi itu berarti bunganya berarti numpuk," tandas Didik.

Persoalan Utama

Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Anis Byarwati, mengatakan persoalan utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 6.000 triliun diperlukan kajian lebih dalam mengenai rasio utang terhadap PDB agar Indonesia tidak semakin terjebak dalam utang.

“Kita perlu mengkaji lebih dalam, bahwa rasio utang terhadap PDB harus benar-benar mencerminkan kondisi riil. Selama ini perhitungan tersebut hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB, sedangkan utang BUMN itu tidak dimasukan. Praktek di negara-negara lain utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut,” kata Anis kepada Liputan6.com.

Menurutnya, persoalan utama utang di Indonesia ini lebih kepada bagaimana agar penerimaan negara ini lebih dipacu dibanding utangnya.

Namun yang terjadi saat ini, utang tumbuh lebih tinggi dibandingkan terhadap penerimaan negara maupun dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga Indonesia semakin terjebak dalam utang.

Di samping itu, Anis menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan utang Pemerintah Indonesia semakin besar, diantaranya dilihat dari porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 33 persen dari total utang pemerintah.

“Akan tetapi nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang kita semakin riskan baik dalam hal cicilan pokok maupun bunganya,” ujarnya. 

Bagaimana Negara Lain?

banner infografis utang pemerintah
Utang Pemerintah (Liputan6.com/Triyasni)

Mengutip informasi Trading Economics, rasio utang pemerintah negara-negara di dunia terhadap PDB di masing-masing negara memang mengalami kenaikan.

Ambil contoh Jepang, yang rasio utangnya meningkat dari sebelumnya sekitar 238 persen menjadi 266 persen.

Adapun lonjakan terbesar terjadi pada Venezuela, dimana rasio utang terhadap PDB negara Amerika Latin yang sempat jadi kaya berkat minyak tersebut melompat dari 233 persen menjadi 350 persen.

Untuk lingkup Asia Tenggara, rasio utang Indonesia pun terpantau masih tidak sebesar negara lain. Seperti Myanmar yang berada di posisi 42,4 persen, Vietnam 46,7 persen, Thailand 50,5 persen, Malaysia 52,7 persen, dan Filipina 53,5 persen.

Singapura jadi negara Asia Tenggara dengan rasio utang terhadap PDB yang terbesar dan terus bertambah, dari sebelumnya 126 persen menjadi 131 persen.

Tapi, bukan berarti rasio utang Indonesia jadi yang terendah di kawasan ASEAN. Kamboja mencatat rasio utang terhadap PDB sebesar 31,5 persen. Sementara Brunei Darussalam jadi salah satu negara dengan rasio utang terkecil di dunia, yakni hanya sekitar 3,2 persen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya