Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bakal menaikkan pajak warga berpenghasilan diatas Rp 5 miliar per tahun atau sekitar Rp 416 juta per bulan.
Hal ini terungkap dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (28/6/2021). Sri Mulyani mengatakan, pihaknya akan menambah lapisan tarif PPh orang pribadi dari 4 menjadi 5 lapisan.
Baca Juga
"Kami akan melalukan pengubahan tarif dan bracket PPh OP. Yang kami tambahkan satu bracket di atas yaitu 35 persen, ini bagi mereka yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar per tahun," kata Sri Mulyani di hadapan anggota DPR.
Advertisement
Menurutnya, penambahan lapisan ini dilakukan karena selama ini, pemajakan bagi orang-orang kaya kurang maksimal. Selama lima tahun terakhir, yaitu dari 2016 hingga 2019, jumlah wajib pajak orang pribadi yang membayar tarif maksimal sebesar 30 persen hanya 1,42 persen.
"Pemajakan atas orang kaya memang tidak mudah dan tidak optimal karena pengaturan terkait dengan fringe benefit atau berbagai fasilitas natura yang dinikmati namun tidak menjadi objek pajak," katanya.
Lanjutnya, jumlah lapisan pajak orang pribadi di Indonesia memang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain. Jika dibandingkan dengan Vietnam dan Filipina, negara-negara tersebut memiliki 7 lapisan. Sementara Thailand memiliki 8 lapisan dan Malaysia memiliki 11 lapisan.
"Jumlah tax bracket (lapisan tarif pajak) di Indonesia sekarang ini ada 4. Hal ini mengakibatkan PPh orang pribadi di Indonesia jadi kurang progresif," pungkas Sri Mulyani.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Duh, Rasio Pajak Indonesia Tak Tumbuh Sejak 1998
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengakui, sejak 1998 sampai 2020 rasio pajak atau tax ratio Indonesia tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Hal ini disebabkan informalitas yang tinggi di dalam perekonomian Indonesia hingga masih rendahnya kepatuhan pajak.
Dia mengatakan minimnya rasio pajak juga tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
“Masih banyak pelaku ekonomi yang belum masuk di dalam sistem, dan juga adanya pemberian berbagai insentif fasilitas perpajakan yang kemudian menggerus penerimaan perpajakan, juga penyebab rasio pajak tidak mengalami pertumbuhan berarti,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI mengenai RUU KUP secara virtual, Senin (28/6).
Bendahara Negara ini menjelaskan kontribusi pajak relatif rendah berasal dari sektor pertanian, konstruksi, dan real estate. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan exemption dan rezim pajak final.
“Kinerja pajak sektor manufaktur juga menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun sektor perdagangan kinerjanya meningkat. Lalu, rasio pajak sektor manufaktur cenderung turun, namun masih relatif tinggi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan, beberapa urgensi pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan. Salah satunya pemerintah melihat basis pajak semakin kuat dan makin merata. Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga dan pendapatan per kapita masyarakat yang sudah semakin tinggi.
Advertisement
Demi Jaga APBN
Di samping itu, upaya reformasi perpajakan dilakukan karena pemerintah berkepentingan untuk terus menjaga instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sebuah instrumen yang sehat dan berkelanjutan. Di mana penerimaan negara terus diupayakan sehingga menciptakan kapasitas fiskal yang memadai.
Namun, lanjut Sri Mulyani, di dalam rangka membiayai kebutuhan pembangunan yang masih begitu banyak dan luas, risiko APBN juga tetap terjaga dengan utang yang harus dikelola secara penuh. Tujuannya agar mampu untuk terus mendorong dan terus menjalankan proses pembangunan.
"Reformasi perpajakan kita terdiri dari reformasi dibidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi," kata Sri Mulyani.