Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan diminta menunda pemberlakuan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan berlebih atau zero ODOL (Over Dimension Over Load) yang ditargetkan pada 1 Januari 2023 sampai batas waktu yang dianggap tepat untuk merealisasikan rencana tersebut.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan penundaan pemberlakuan ODOL, perlu jadi pertimbangan prioritas pemerintah karena kondisi dunia usaha saat ini sangat berat akibat pandemi yang belum juga berakhir.
Baca Juga
Pergerakan Independen Alex Kuple dalam Bermusik, Ogah Bergantung pada Major Label Berkat Kedekatan dengan Musisi Indie
Mendagri Tito Karnavian Beberkan Alasan Yogyakarta Tetap Naik Pertumbuhan Ekonomi saat Pandemi Covid-19
Pandemi Adalah Wabah Global, Pahami Ciri-Ciri, Cara Menghadapi, serta Bedanya dengan Endemi dan Epidemi
“Untuk saat ini, tidak mungkin memaksakan sesuatu yang hanya bisa dilakukan dalam kondisi normal. Kalaupun dipaksakan ODOL harus diimplementasikan pada tahun 2023, tentunya akan menuai banyak masalah,” kata Hariyadi Sukamdani dikutip dari Antara, Senin (26/7/2021).
Advertisement
Dia mengatakan zero ODOL punya konsep bagus yakni menyesuaikan kondisi daya dukung jalan dengan angkutan truk yang lewat agar biaya perawatan jalan jadi tidak mahal.
“Pada prinsipnya dunia usaha mendukung kebijakan itu,” kata Hariyadi Sukamdani.
Hanya saja, Dalam masa transisi untuk menuju zero ODOL, Hariyadi Sukamdani menyarankan pemerintah perlu menyiapkan sejumlah insentif bagi dunia agar kebijakan itu bisa direalisasikan.
Hal ini, kata Hariyadi Sukamdani, karena ada alokasi dana cukup besar yang harus dikeluarkan pengusaha untuk peremajaan truk dan investasi truk baru di tengah situasi yang masih tidak menentu hingga saat ini.
Apalagi, investasi untuk truk multi axle yang merupakan truk pengangkut yang banyak dipergunakan di perkebunan tidak murah.
Hariyadi Sukamdani meminta Kementerian Perhubungan dan Kementerian Keuangan menyiapkan insentif bagi industri yang banyak menggunakan truk pengangkut agar harganya bisa kompetitif.
“Insentif baik berupa keringanan pajak maupun fiskal untuk pembiayaan truk sebaiknya berbunga rendah agar bisa direalisasikan,” kata Hariyadi Sukamdani.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemberian Insentif
Pada prinsipnya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam pemberian insentif harus mengarahnya pada pembenahan industri agar dapat beroperasi lebih baik dengan investasi yang kompetitif.
“Kalau harga untuk investasi truk yang ditawarkan menarik karena ada insentif pemerintah, tentu pengusaha tidak keberatan. Dana untuk insentifnya bisa saja diambil biaya pemeliharaan jalan yang kedepan pastinya akan jauh berkurang,” kata dia.
Hariyadi Sukamdani juga minta pemerintah bisa memberi insentif lain baik PPH atau PPN agar para dunia usaha bisa bertahan dan tidak terjadi lonjakan pengangguran.
Pemerintah jangan membiarkan pelaku usaha untuk mikir sendiri. “Perlu solusi dan kerja sama agar dunia usaha bangkit,” kata dia.
Bahkan untuk industri strategis dan mampu menopang perekonomian Indonesia bertahan di tengah krisis, seperti sawit pemerintah seharusnya perlu menyiapkan insentif khusus. Hal ini agar devisa negara tidak terhambat dan perekonomian terus berputar.
Sebagai catatan, industri perkebunan kelapa sawit membutuhkan biaya Rp59 triliun untuk menjalankan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan berlebih (ODOL) pada 2023.
Perinciannya, Rp 10 triliun untuk peremajaan armada lama sebanyak 14.628 unit dan pengadaan truk baru sebanyak 70.837 ribu unit senilai Rp49 triliun.
Kebijakan ODOL juga membuat biaya angkut logistik di industri perkebunan melonjak dua kali lipat menjadi Rp32 triliun per tahun.
Advertisement