Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) sejauh ini sudah memanggil 24 obligor dan debitur yang punya utang atas dana BLBI.
Sri Mulyani lantas membagi 24 pengutang BLBI tersebut ke dalam lima kelompok. Pertama, mereka yang mengakui utangnya terhadap negara dan mau menyusun rencana penyelesaian utang.
"Dari 24 obligor/debitur ini ada yang hadir dan mengakui utang, dan kemudian menyusun rencana penyelesaian utang. Ini yang mungkin paling kooperatif," ujarnya dalam sesi teleconference.
Advertisement
Kedua, Sri Mulyani melanjutkan, yakni obligor BLBI yang hadir baik secara langsung maupun diwakili. Mereka mengakui punya utang kepada negara, namun rencana penyelesaiannya dianggap tidak realistis sehingga ditolak oleh tim Satgas BLBI.
"Ketiga, ada yang hadir, namun ketika datang mereka menyatakan tidak punya utang kepada negara," ujar Sri Mulyani.
Mengomentari hal itu, Ekonom dan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyampaikan bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras dalam hal penagihan. Hal ini lantaran ada sejumlah obligor yang tidak mengakui utangnya kepada negara.
Padahal, kata Pieter, Menko Polhukam Mahfud MD memgaku memiliki bukti tentang data-data utang tersebut.
"Bahkan pemerintah bisa menggali kasus lain dari kasus ini. Dari perdata bisa menjadi pidana," kata dia.
"Yang paling efektif adalah jalur hukum. Gunakan hukum secara maksimal," ujar Piter.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Menanti Langkah Konkrit dari Pemerintah
Selanjutnya, Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah yang konkret dalam penagihan utang terhadap obligor BLBI.
"Menurut saya itu bisa dikejar dengan berbagai cara, mulai dari penyitaan aset, atau kemudian kalau bangunan dan tanah bisa disegel. Kemudian pencekalan ke luar negeri bagi para obligor agar mereka tidak kabur," kata Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com pada Rabu (22/9/2021).
Bhima pun menyarakan harus adanya pendekatan, meski sudah ada pendekatan persuasif seperti cara pemanggilan, permintaan klarifikasi dan verifikasi yang tidak digubris.
"Memang harus ada cara-cara yang lebih tegas lagi," ujarnya.
"Jadi jangan sampai mengecewakan harapan publik yang terlanjur tinggi, ketika pemerintah di langkah awalnya cukup berani karena ini kasus lama dan kemudian di buka lagi, maka harus ada langkah yang konkrit," lanjut Bhima.
Hanya saja, Bhima menyayangkan upaya pemerintah yang tidak menagih utang tersebut sesuai dengan nominalnya pada 1998. Harusnya, dengan mempertimbangkan inflasi, nilai utang para obligor kini lebih besar.
"Sehingga utangnya pada saat itu misalnya Rp 58 triliun, maka hari ini seharusnya bisa menyesuaikan dengan inflasi, seharusnya utangnya bisa lebih besar," bebernya.
Advertisement