Gara-gara Omicron dan Inflasi, IMF akan Pangkas Prediksi Pertumbuhan Ekonomi UE

Pada Oktober 2021, IMF memperkirakan ekonomi zona euro bakal tumbuh 4,3 persen pada 2022.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 08 Des 2021, 18:30 WIB
Diterbitkan 08 Des 2021, 18:30 WIB
Kenormalan Baru di Barcelona
Warga terlihat menyeberang jalan di Barcelona, Spanyol (25/6/2020). Spanyol juga telah membuka kembali perbatasan bagi kedatangan dari negara-negara Uni Eropa serta kawasan Schengen. (Xinhua/Balai Kota Barcelona)

Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) kemungkinan akan memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi bagi negara dengan mata uang euro. Ini dipicu kekhawatiran atas varian COVID-19 omicron dan inflasi yang terus meningkat.

Sebelumnya, pada Oktober 2021, IMF memperkirakan ekonomi zona euro bakal tumbuh 4,3 persen pada 2022 mendatang.

Sekarang, lembaga tersebut telah memperingatkan tentang kemungkinan adanya revisi ketika menyajikan perkiraan pertumbuhan ekonomi baru bulan depan.

"Kami mungkin memiliki penurunan peringkat yang sangat sederhana untuk zona euro," kata Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva dikutip dari laman CNBC International, Rabu (8/12/2021).

Tekanan pasokan yang meningkat, harga energi yang tinggi dan pengenalan kembali pembatasan sosial baru di beberapa negara kawasan euro adalah salah satu perhatian utama IMF.

IMF juga menetapkan pandemi sebagai risiko nomor satu bagi pertumbuhan ekonomi di negara dengan mata uang euro.

"Kami telah berteriak dari puncak gunung bahwa pandemi adalah risiko terbesar bagi ekonomi global. Dan kami telah menganjurkan dengan sangat kuat untuk memvaksinasi dunia. Tetapi kemajuan dibuat, tidak cukup," ujar Georgieva.

Mengingat melonjaknya kasus COVID-19 dan varian baru, sejumlah negara kawasan euro telah memberlakukan pembatasan sosial yang menargetkan mereka yang tidak divaksinasi.

Jerman dan Austria, misalnya, memberlakukan lockdown bagi mereka yang belum divaksinasi dan Yunani mengumumkan denda bagi warga berusia 60 tahun ke atas yang belum divaksinasi.

Langkah-langkah ini, menurut pendapat pemerintah, adalah upaya untuk melindungi sistem kesehatan negara.

Dalam praktiknya, langkah-langkah ini juga mencegah penutupan total — dan konsekuensi ekonomi yang menyertainya.

Ketika ditanya apakah menargetkan mereka yang tidak divaksinasi adalah pendekatan terbaik untuk mencegah kerusakan ekonomi, Georgieva menjawab ; "Apa yang kami lihat pasti korelasi antara (tingkat) vaksinasi dan kecepatan pemulihan. Jadi dalam hal ini, kami mendukung prioritas pada vaksinasi. Satu-satunya pesan yang kami miliki adalah memvaksinasi semua orang, di mana saja".

Inflasi

FOTO: Spanyol Umumkan Status Darurat COVID-19
Orang-orang menikmati pemandangan matahari terbenam di Kota Barcelona, Spanyol, 25 Oktober 2020. PM Spanyol Pedro Sanchez mengumumkan Status Darurat untuk meredam penyebaran COVID-19, beberapa hari setelah Spanyol menjadi negara Uni Eropa pertama yang menembus angka 1 juta kasus. (Xinhua/Joan Gosa)

Selain pandemi, ada juga kekhawatiran tentang apakah inflasi yang lebih tinggi akan tetap ada.

Inflasi zona euro mencapai level tertinggi yang pernah ada pada November 2021, menurut data awal IMF.

IMF juga mengatakan pekan lalu bahwa Federal Reserve AS harus mempercepat pengetatan kebijakan moneter mengingat pembacaan inflasi yang lebih tinggi.

Namun, pesan IMF untuk Bank Sentral Eropa sedikit berbeda. "Hanya kondisinya tidak ada di sana," kata Georgieva.

"Kami memperkirakan, pada tahun 2022, inflasi (kawasan euro) melemah di bawah 2 persen. Jadi, kecuali ada sesuatu yang berubah dan kita mungkin melihat ekonomi China yang menyusut atau pasar real estat yang runtuh. Jika itu terjadi, ECB memiliki alat untuk merespons, tetapi tidak ada tekanan upah ini atau faktor lainnya, ECB tepat untuk menjadi akomodatif," paparnya.

Menurut proyeksi IMF, inflasi zona euro diproyeksikan menurun hingga 2022 dan tetap di bawah target 2 persen ECB dalam jangka menengah.

Meskipun demikian, IMF menyebutkan negosiasi upah adalah area yang harus diperhatikan.

Dikatakan dalam sebuah laporan pada Senin (6/12) bahwa "negosiasi upah yang akan datang, yang diperkirakan akan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya setelah banyak pembaruan kontrak ditunda selama pandemi, akan membutuhkan pemantauan yang ketat".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya