Liputan6.com, Jakarta Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti skema pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dilakukan pekerja di usia 56 tahun. Terkecuali, bagi pekerja yang meninggal dunia ataupun cacat tetap.
Melihat situasi ekonomi saat ini, Bhima menilai, pemerintah tidak bisa menahan pencairan JHT untuk peserta yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebab dana tersebut bisa dipakai untuk bertahan hidup selagi mencari pekerjaan baru.
Di sisi lain, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang diklaim bisa dipakai menanggung hajat hidup sementara pekerja ter-PHK, justru tidak bisa diandalkan. Padahal, peserta sudah harus merelakan gajinya terpotong sebagian untuk JHT.
Advertisement
"Kalau tidak bisa dicairkan yang merupakan haknya, maka ini sama saja terjadi sebenarnya pencurian upah oleh pengelola, dalam hal ini adalah BPJS Ketenagakerjaan," ujar Bhima kepada Liputan6.com, Senin (21/2/2022).
Efeknya, ia melanjutkan, tentunya ini akan membuat para pekerja yang rentan. Khususnya bagi para pekerja kontrak, outsourcing, buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang bakal jadi korban dari adanya skema JHT 56 tahun.
"Mereka akan kesulitan misalnya untuk bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kondisi ketekanan ekonomi seperti pandemi saat ini," keluh Bhima.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kemiskinan
Imbasnya, pekerja rentan ini akan jatuh di bawah garis kemiskinan. JHT yang tujuannya untuk memberikan jaminan sosial, justru diragukan efektivitasnya ketika tidak bisa dicairkan pada saat pekerja membutuhkan.
"Jadi pekerja rentan ini yang kasian. Udah mepet upah minimum, kemudian JHT tidak bisa dicairkan menunggu waktu yang sangat lama, maka efeknya dia akan jatuh di bawah garis kemiskinan. Jadi orang miskin baru," tuturnya.
Advertisement