Liputan6.com, Jakarta BPJS Kesehatan mencatatkan surplus aset neto dana jaminan sosial kesehatan Rp 38,76 triliun di sepanjang 2021 lalu.
Kondisi tersebut membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana lembaga mencatatkan defisit senilai Rp 5,69 triliun pada 2020, dan defisit Rp 51 triliun pada 2019.
Baca Juga
Dengan capaian tersebut, BPJS Kesehatan sukses mempertahankan predikat Wajar Tanpa Modifikasi (WTM) untuk laporan keuangan 2021 dari akuntan publik.
Advertisement
"Ini merupakan predikat WTM kedelapan secara berturut-turut yang diraih sejak BPJS Kesehatan beroperasi tahun 2014, dan predikat ke-30 sejak era PT Askes (Persero)," ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam sesi public expose di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Ali menyebut, capaian selanjutnya yang patut diapresiasi adalah kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) pada 2021 telah dinyatakan positif. Hal tersebut dibuktikan dari aset neto yang yang dimiliki hingga tahun lalu sebesar Rp 38,7 triliun.
"Posisi aset neto ini masuk dalam kategori sehat dan mampu memenuhi 5,15 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan," terang dia.
Selain capaian WTM, sepanjang 2021 ada beberapa capaian yang berhasil diraih BPJS Kesehatan. Dari aspek kepesertaan, per Januari 2022 jumlah peserta program JKN mencapai 235,7 juta jiwa, atau sekitar 86 persen dari total penduduk Indonesia.
Seiring dengan jumlah pertumbuhan kepesertaan JKN, BPJS Kesehatan juga memperluas akses layanan di fasilitas kesehatan.
Hingga akhir Desember 2021, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 23.608 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan 2.810 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (rumah sakit).
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kelas Standar BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Butuh Rp 150 Miliar, Dananya Ada?
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyoroti penghapusan layanan kelas 1-3 untuk peserta BPJS Kesehatan, diganti menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Pasalnya, rumah sakit membutuhkan biaya tak sedikit hingga mencapai Rp 150 miliar untuk memenuhi kriteria penerapan kelas standar BPJS Kesehatan tersebut.
"Itu harus mengeluarkan uang sekitar Rp 150 miliar. Rumah sakit tentunya kalau harus mengeluarkan uang Rp 150 miliar, apakah sudah ada anggarannya? apalagi rumah sakit daerah," sebut Ali dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Senin (4/7/2022) kemarin.
Berbicara soal pemenuhan dana tersebut, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqin menyatakan, pihaknya akan terlebih dahulu memproses apa yang diutarakan Ali Ghufron Mukti.
"Kita perlu pelajari lagi yang disampaikan pak Dirut BPJS Kesehatan," kata Muttaqin kepada Liputan6.com, Selasa (5/7/2022).
Karena pada umumnya, ia menambahkan, kebutuhan tiap rumah sakit akan berbeda-beda. Tergantung seberapa besar rumah sakit bersangkutan belum memenuhi dari kriteria yang ada.
Terdapat 12 kriteria kelas standar yang harus dilakukan penyesuaian untuk perubahan layanan kesehatan ini. Beberapa diantaranya, seperti ketentuan ventilasi udara, satu kamar maksimal empat tempat tidur, hingga toilet di dalam kamar.
"Perlu disampaikan juga, bahwa 12 kriteria yang ada bukan kriteria baru bagi rumah sakit. Kriteria yang ada untuk lebih memastikan mutu, keselamatan pasien dan ekuitas di JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)," tutur Muttaqin.
Advertisement
Diawali Uji Coba di 5 RS, Standarisasi Kelas Rawat Inap BPJS Kesehatan Berlaku 2024
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan, implementasi Kelas Rawat Standar Inap (KRIS) untuk peserta BPJS Kesehatan bisa diterapkan untuk 100 persen rumah sakit pada 2024 mendatang.
Menkes Budi Gunadi mengatakan, implementasi kebijakan KRIS Ini akan lebih ditentukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS Kesehatan. Sementara Kementerian Kesehatan memainkan role modelnya untuk memastikan kesiapan infrastruktur.
"Kami sudah membuat skenario mengenai penggunaan KRIS," kata Menkes Budi Gunadi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Senin (3/7/2022).
Secara timeline, asesmen kesiapan KRIS meliputi RS vertikal, RSUD, RS TNI Polri, dan RS swasta. Untuk tahun ini, KRIS akan mulai uji coba untuk 5 rumah sakit vertikal.
Sedangkan 100 persen penerapan KRIS pada seluruh rumah sakit ditargetkan dapat terjadi pada semester II 2024.
Membuat Peta Jalan
Budi Gunadi menyatakan, Kemenkes sendiri telah membangun peta jalan (timeline) mengenai kesiapan infrastrukturnya.
Tapi yang jadi perhatian dari sisinya, ia masih menunggu keputusan final bagaimana bentuk kelas rawat inapnya sendiri. Hal tersebut akan lebih ditentukan oleh DJSN bersama BPJS Kesehatan.
"Memang yang perlu jadi perhatian dari sisi kami, pelunya keputusan final bagaimana bentuk kelasnya sendiri. Sehingga Kementerian Kesehatan bisa menyesuaikan infrastrukturnya sesudah terjadi persetujuan mengenai pemahaman KRIS antara DJSN dan BPJS Kesehatan," tuturnya.Â
Advertisement