Risiko Perubahan Iklim ke Pertumbuhan Ekonomi Lebih Besar Dibanding Covid-19

Perubahan iklim disebut berisiko lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi global dibandingkan pandemi Covid-19.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 19 Jul 2022, 13:10 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2022, 13:10 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meninjau vaksinasi COVID-19 massal Tahap I bagi 6.000 Tenaga Kesehatan Wilayah DKI Jakarta di Istora Senayan Jakarta pada Kamis, 4 Februari 2021. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan reasuransi yang berbasis di Zurich Swiss, yakni Swiss Re, mengungkapkan bahwa perubahan iklim menimbulkan risiko yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi global secara jangka panjang daripada pandemi Covid-19.

Dunia baru saja melihat bulan terpanas terpanas ketiga dalam catatan pada Juni 2022, dengan suhu rata-rata 0,32 derajat Celcius lebih tinggi dari rata-rata untuk bulan itu dalam tiga dekade hingga 2020, menurut Europe’Copernicus Climate Change Service.

Swiss Re, yang juga merupakan salah satu perusahaan reasuransi terbesar di dunia, memperkirakan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bencana alam di seluruh dunia tahun lalu mencapai USD 270 miliar atau setara Rp 4 kuadriliun, dimana sepertiganya disebabkan oleh banjir.

Hanya seperempat dari kerugian akibat banjir yang ditanggung oleh asuransi.

"Meskipun pandemi Covid-19 berdampak luas, perubahan iklim tetap menjadi ancaman jangka panjang terbesar bagi ekonomi global," kata Swiss Re dalam sebuah komentar tertulis, dikutip dari South China Morning Post, Selasa (19/7/2022).

"Dan efek dari perubahan iklim sudah bermanifestasi dalam bahaya kedua, seperti banjir bandang, kekeringan, dan kebakaran hutan," jelas perusahaan reasuransi itu.

Saat gelombang panas melanda sekitar Spanyol hingga Italia, benua Eropa mengalami bulan terpanas kedua yang tercatat sekitar 1,6 derajat di atas rata-rata pada Juni 2022.

Kantor Meteorologi Inggris juga sempat mengeluarkan peringatan pertamanya untuk cuaca panas yang luar biasa, memperkirakan suhu bisa melebihi 40 derajat di beberapa wilayah negara itu awal minggu depan, yang akan melampaui rekor 38,7 derajat pada 2019.

"Kekeringan mungkin juga terjadi selama tiga bulan ke depan di sebagian besar Eropa," ungkap Deutscher Wetterdienst, layanan meteorologi Jerman, pada 6 Juli lalu.

"Dalam jangka panjang, tergantung pada tingkat pemanasan global di masa depan, curah hujan di wilayah Mediterania akan berkurang (dan) di musim panas, ada risiko kekeringan menyebar ke Eropa tengah dan terutama di barat," lanjutnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

China Hadapi Gelombang Panas Terbesar hingga Australia Merugi Rp 79,1 T Akibat Banjir

Kasus COVID-19 Meroket, China Lockdown Shanghai
Seorang pria berjalan di sepanjang Sungai Huangpu di distrik Pudong yang dikunci sebagai tindakan melawan Covid-19, di Shanghai (28/3/2022). Shanghai lockdown setiap setengah kota secara bergiliran untuk tes Covid-19 massal mulai Senin (28/3/2022) di tengah lonjakan infeksi. (AFP/Hector Retamal)

Di China, selama 42 hari pertama musim panas hingga 12 Juli, negara itu mengalami 5,3 hari gelombang panas, menurut data dari Pusat Iklim Nasional China.

Gelombang panas di China telah berlangsung selama lebih dari 30 hari, mempengaruhi lebih dari setengah wilayah negara itu dan hampir dua pertiga dari populasinya.

"Saya tidak keluar hari ini karena suhunya melelebihi 40 derajat setiap hari," kata Minny Wu, seorang warga yang pulang dari Shenzhen ke kampung halamannya Chongqing untuk merawat ayahnya yang menderita kanker.

Adapun Hong Kong, yang melihat musim panas yang luar biasa panjang sejak 8 Juli 2022, dengan suhu tertinggi harian 33 hingga 35 derajat.

Gelombang panas ini diperkirakan akan berlangsung hingga setidaknya 25 Juli mendatang.

Di Australia timur, kerugian yang diasuransikan akibat banjir awal tahun ini mencapai USD 4,8 miliar atau setara Rp 71,9 triliun, menjadikannya peristiwa cuaca termahal ketiga di negara itu, menurut Dewan Asuransi Australia.

 

Dana yang Dibutuhkan

Ilustrasi perubahan iklim
Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Para ahli mengatakan, nol bersih pada tahun 2050 diperlukan untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim.

Pada tahun 2100, aset global yang terkena risiko banjir pantai sekali dalam 100 tahun diproyeksikan mencapai antara USD 7,9 triliun dan USD 12,7 triliun (Rp 190,3 kuadriliun), bahkan jika emisi karbon dioksida mulai menurun sekitar tahun 2045 hingga mencapai kira-kira setengah dari tingkat tahun 2050 pada tahun 2100.

Beberapa musim panas dan peristiwa banjir tahun ini mengikuti gelombang panas ekstrem yang memecahkan rekor tahun lalu di Amerika Utara bagian barat, Rusia dan Eropa Timur, selain banjir parah di Eropa barat yang menyebabkan kerugian USD 41,8 miliar (Rp 626,5 triliun).

Menurut pialang AS Sanford Bernstein, total engeluaran sebesar USD 100 triliun selama 30 tahun ke depan akan dibutuhkan selama tiga dekade ke depan. 

Pengeluaran itu sebagian besar dibutuhkan untuk pembangkit listrik tenaga surya dan angin selain penyimpanan energi dan fasilitas hidrogen, agar sistem pasokan energi dunia beralih ke sistem emisi nol bersih.

"(Sementara) peristiwa iklim belum menimbulkan efek nyata pada ekonomi global sejauh ini, kesadaran dan kewaspadaan diperlukan karena kita melihat peningkatan risiko yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya,” kata Dan Raghoonundon, pemimpin penelitian perusahaan manajer aset Janus Henderson Investors.

INFOGRAFIS: Perbandingan Kapasitas Testing Covid-19 Negara ASEAN (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Perbandingan Kapasitas Testing Covid-19 Negara ASEAN (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya