Liputan6.com, Jakarta Tak disangka wilayah Asia ternyata termasuk kawasan berisiko karena mengalami utang naik. Kenaikan itu terjadi sekitar 13 persen dari yang awalnya 25 persen menjadi 38 persen.
Meningkatnya tingkat utang itu telah didorong oleh inflasi dan pengetatan kondisi keuangan di seluruh Asia.
Baca Juga
Alhasil hal itu telah menjadi perhatian publik, menurut Krishna Srinivasan dari Dana Moneter Internasional atau International Monetery Fund (IMF).
Advertisement
“Jika Anda melihat utang untuk kawasan, jika Anda melihat bagian Asia dari total utang, utang agregat, itu naik cukup tajam,” tutur Direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF seperti dilansir dari CNBC, Kamis (28/7/2022).
Dia mengatakan utang di kawasan Asia telah meningkat dari 25 persen sebelum pandemi menjadi 38 persen sekarang.
Bahkan Srinivasan mengungkapkan negara-negara yang berisiko termasuk Laos, Mongolia, Maladewa dan Papua Nugini, dan mencatat Sri Lanka telah gagal membayar utangnya.
Jumlah Utang
Misalnya di Laos, inflasi sudah mencapai 23,6 persen pada bulan Juni. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) memperkirakan inflasi tahunan Mongolia akan mencapai 12,4 persen pada tahun 2022.
Sementara itu, Maladewa telah berjuang dengan utang yang tinggi selama bertahun-tahun. Sementara rasio utang terhadap PDB Maladewa telah turun selama dua tahun terakhir, namun masih tinggi sekitar 100 persen dari PDB.
“Jadi ada banyak negara di kawasan yang menghadapi angka utang yang tinggi. Dan beberapa dari negara-negara ini berada di wilayah kesulitan utang. Dan itu yang harus kita waspadai,” kata Srinivasan.
Â
Perlambatan Pertumbuhan Global
Dalam prospek ekonomi global yang dirilis pada Selasa, IMF memperkirakan akan ada perlambatan tajam dalam pertumbuhan global dari 6,1 persen di tahun lalu menjadi 3,2 persen tahun ini. Bahkan memprediksi pertumbuhan di China dan India akan terpukul.
Akibatnya, Srinivasan mengatakan pertumbuhan di Asia akan berdampak signifikan pada 2022 dan 2023, masing-masing melambat menjadi 4,2 persen dan 4,5 persen.
“Tahun ini kami melihat inflasi menjadi faktor yang cukup besar. Bahkan, kami menaikkan perkiraan inflasi kami untuk Asia secara lebih luas dan ini terutama berlaku untuk ekonomi maju di Asia,” kata Srinivasan. Namun, dia tidak menebak “apakah kita akan melihat krisis atau tidak” di wilayah tersebut.
“Penurunan harga pertumbuhan mencerminkan dampak serius dari perang Ukraina. Perang telah menyebabkan peningkatan inflasi yang signifikan,” kata Srinivasan.
Dia mengatakan Asia secara keseluruhan telah mengalami pengetatan yang cukup besar dalam kondisi keuangan, terutama karena ekonomi maju menaikkan suku bunga.
Â
Reporter: Aprilia Wahyu Melati
Advertisement