Sampai Kapan APBN Kuat Tahan Subsidi Energi?

Anggota DPR RI memandang keuangan negara melalui APBN masih mampu menjadi penopang beban subsidi energi.

oleh Arief Rahman H diperbarui 03 Agu 2022, 11:00 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2022, 11:00 WIB
FOTO: Warga Beralih ke Gas Melon Imbas Kenaikan Harga LPG Nonsubsidi
Pekerja melakukan bongkar muat tabung LPG 3 kg di salah satu agen di Jakarta Pusat, Kamis (14/7/2022). Imbas kenaikan harga jual LPG nonsubsidi Rp 2.000 per kg, pengelola agen gas mengungkapkan banyak warga mulai beralih ke LPG 3 kg subsidi atau gas melon karena harga gas nonsubsidi terlampau tinggi di tengah kondisi ekonomi yang makin sulit. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Anggota DPR RI memandang keuangan negara melalui APBN masih mampu menjadi penopang beban subsidi energi. Meski, diketahui angkanya mencapai sekitar Rp 502 triliun.

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun memandang APBN masih mampu memberikan subsidi. Kendati, dengan harga minyak dunia yang sedang tinggi, pemerintah dalam kondisi sulit untuk menyalurkan subsidi dan kompensasi ke Pertamina dan PLN.

"Saat ini penerimaan negara masih cukup memadai untuk memberikan penguatan terhadap subsidi karena pertama ada SKB dengan BI sebesar Rp 224 triliun untuk APBN 2022 dan kemudian ada windfall penerimaan dari PNBP dan penerimaan pajak karena kenaikan harga komoditas dan kinerja ekspor kita yang sangat bagus," katanya kepada Liputan6.com, Rabu (3/8/2022).

Sehingga Misbakhun memandang penerimaan dari PNBP dan pajak dari harga komoditas masih bisa menopang kinerja penerimaan negara. Kemudian, juga bisa menutup defisit dan kinerja belanja pemerintah untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan belanja modal pemerintah.

"Baik itu untuk membiayai infrastruktur, membiaya belanja rutin dan belanja modal serta lainnya," kata dia.

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad melontarkan hal senada. Menurutnya, APBN memang didesain untuk menjadi shock absorber.

"Tujuannya adalah mengendalikan inflasi, menjaga daya beli rakyat, dan menjaga momentum pemulihan. Sebab kalau tidak demikian, guncangannya akan sangat keras bagi masyarakat. Daya beli akan melemah. Padahal, konsumsi domestik menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi kita," paparnya.

Artinya, beban subsidi terhadap APBN bukan menjadi suatu masalah. Dengan begitu, arus uang negara ini digunakan untuk sektor prioritas.

"seharusnya tidak ada masalah jika APBN digunakan tepat kebijakan sesuai prioritas. Tidak diganggu-ganggu dengan pengeluaran lain yang datangnya tiba-tiba. Apalagi di kuartal I kemarin APBN kita mengalami surplus," kata dia.

"Semestinya APBN kita masih cukup kuat menopang subsidi energi hingga akhir tahun," tambahnya.

 

Kendalikan Inflasi

Uji Coba Beli Pertalite Pakai MyPertamina
Petugas melakukan pengisian bahan bakar pertalite di SPBU Pertamina Abdul Muis, Jakarta, Kamis (30/6/2022). PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, akan melakukan uji coba pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi, Pertalite dan Solar, secara terbatas bagi pengguna yang sudah terdaftar pada sistem MyPertamina, mulai 1 Juli mendatang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Lebih lanjut, Misbakhun menyebut dampak pemberian subsidi cukup positif. Misalnya mampu terkendalinya inflasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik, kenaikan inflasi berada sekitar 4 persen. Meski angka itu besar, tapi Misbakhun memandang itu masih angka yang terkendali.

"Bisa dikendalikan dair hasil kombinasi subsidi hasil kebijakan fiskal kita dan bagaimana BI tetap menjaga 7 DDR di 3,5 persen sehingga likuiditas di pasar terjaga, sektor bisnis terpenuhi kebutuhan likuiditasnya," ujar dia.

Langkah ini berdampak pada penguatan pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor swasta melalui investasi swasta.

"Kemudian inflasi yang rendah dan subsidi ini didorong oleh bisa meredam kekuatan daya beli masyarakat karena kenaikan harga (BBM, LPG, Listrik) bisa ditekan oleh pemerintah melalui subsidi yang ada," tambahnya.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Pembatasan

[Bintang] 20 Mei: 12 Tuntutan Rakyat Indonesia Pada Jokowi
Ilustrasi subsidi BBM (Via: teropongbisnis.com)

Sementara, Kamrussamad menyebut, penyaluran subsidi BBM yang terlalu cepat bisa berimbas ke beban keuangan negara. Maka, pembatasan yang dilakukan bisa jadi solusi.

"Kuota BBM subsidi memang terserap lebih cepat dibanding kuota yang tersedia," kata dia.

Realisasi penyaluran solar di Juni telah mencapai 8,3 juta kiloliter (KL). Sedangkan, kuota yang ditetapkan pada tahun ini hanya 14,9 juta KL. Begitu juga dengan pertalite, realisasinya sudah mencapai 14,2 juta KL sementara kuota yang ditetapkan tahun ini hanya 23 juta KL.

"Sehingga, pembatasan menjadi salah satu hal yang perlu dilakukan," tukasnya.

Subsidi Tembus Rp 502 Triliun

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diberikan pemerintah sudah sangat besar yakni, mencapai Rp 502 triliun. Menurut dia, tidak ada negara mana pun yang kuat memberikan subsidi sebesar itu.

"Perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah terlalu besar dari Rp170 (triliun) sekarang sudah Rp502 triliun. Negara manapun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu," kata Jokowi dalam acara Zikir dan Doa Kebangsaan di halaman Istana Merdeka Jakarta, Senin 1 Agustus 2022.

"Tapi alhamdulilah kita sampai saat ini masih kuat. Ini yang perlu kita syukuri," sambungnya.

Dia menyampaikan bahwa harga bensin di negara lain mencapai Rp31.000 sampai Rp32.000 per liter. Sedangkan, harga Pertalite di Indonesia Rp7.650 per liter.

"Kita patut bersyukur, Alhamdulilah kalau bensin di negara lain harganya sudah Rp31.000, Rp32.000. Di Indonesia Pertalilte masih harganya Rp7.650," ucapnya.

 

Kondisi Global

Petani Minta Jokowi Hapus Subsidi BBM
Presiden terpilih Jokowi menghadiri Munas Seknas Tani Jokowi di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Kamis (4/9/14). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Jokowi menuturkan bahwa dunia saat ini sedang dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Setelah dihantam pandemi Covid-19 hampir 2,5 tahun, dunia kini dihadapi dengan munculnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan krisis.

"Muncul sesuatu yang dadakan yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Sakitnya belum sembuh, muncul yang namanya perang di Ukraina sehingga semuanya menjadi bertubi-tubi, menyulitkan hampir semua negara. Semua negara berada dalam posisi yang sangat sulit," jelas Jokowi.

Menurut dia, negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa yang menjadikan gandum sebagai makanan harian, saat ini berada dalam posisi yang sulit. Pasalnya, 77 juta ton gandum dari Ukraina tidak bisa keluar atau di ekspor akibat perang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya