Membandingkan Besaran Subsidi dan Kompensasi Energi 5 Tahun Terakhir

Sri Mulyani mengatakan, sebenarnya belanja subsidi dan kompensasi energi yang memang sebagian besar untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut sudah disesuaikan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 29 Agu 2022, 18:15 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2022, 18:15 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Keterangan Pers Menteri Keuangan, Roma, secara virtual, Minggu (31/10/2021).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Keterangan Pers Menteri Keuangan, Roma, secara virtual, Minggu (31/10/2021).

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan alokasi subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 trilun di 2022. Namun ternyata subsidi dan kompensasi tersebut tidak mencukupi.

hal tersebut jika melihat pola konsumsi masyarakat. Dimana, terjadi tren peningkatan yang cukup besar apalagi yang mengkonsumsi Pertalite dan Solar.

"Ini jadi persoalan, Rp 502 triliun akan habis di bulan Oktober," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers Tindak Lanjut Hasil Rakor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Jumat 26 Agustus 2022 lalu.

Sri Mulyani mengatakan, sebenarnya belanja subsidi dan kompensasi energi yang memang sebagian besar untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut sudah disesuaikan.

Sebelumnya atau di APBN 2022, pemerintah hanya menganggarkan subsidi dan kompensasi untuk BBM, LPG dan listrik sebesar Rp 152,5 triliun.

Lalu jumlah tersebut dinaikkan Rp 349,9 triliun atau meningkat tiga kali lipat melalui Perpres Nomor 98 Tahun 2022. Jumlahnya subsidi dan kompensasi tersebut mencapai menjadi Rp 502,4 triliun.

Menengok ke belakang. Dari data yang ditampilkan Sri Mulyani, memang anggaran subsidi dan kompensasi energi di 2022 ini merupakan rekor terbesar dalam lima tahun terakhir.

Di tahun-tahun sebelumnya, subsidi dan kompensasi energi selalu berada di bawah Rp 200 triliun.

Rinciannya sebagai berikut:

- Tahun 20218: Rp 153,5 triliun.

- Tahun 2019: Rp 144,4 triliun

- Tahun 2020 Rp 199,9 triliun

- Tahun 2021 Rp 188,3 triliun.

- Tahun 2022 Rp 152,5 triliun yang disesuaikan menjadi Rp 502,4 triliun.

80 Persen Pengguna Pertalite adalah Orang Mampu

Pertamax Cs Turun Harga
Petugas mengisi BBM pada sebuah mobil di SPBU, Jakarta, Sabtu (5/1/2019). PT Pertamina (Persero) menurunkan harga BBM non subsidi yakni, Pertalite Rp 150 per liter, Pertamax Rp 200 per liter dan Pertamax Turbo Rp 250 per liter. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut Rp 502,4 triliun subsidi energi termasuk subsidi BBM, khususnya Pertalite dinikmati masyarakat mampu. Ini jadi corak tidak tepat sasarannya subsidi yang digelontorkan pemerintah.

Ini mengacu pada pola konsumsi BBM bersubsidi jenis Solar dan Pertalite yang dihimpun pemerintah. Angkanya, 95 persen dari konsumen kategori rumah tangga mengakses Solar. Dan 80 persen rumah tangga mampu mengonsumsi Pertalite.

"Ini artinya dengan ratusan triliun yang kita berikan, yang nikmati adalah kelompok mampu karena mereka yang konsumai BBM itu. Belum ktia bicara LPG," katanya dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jumat (26/8/2022).

Ia menjabarkan, dari total kuota Solar yang ditetapkan pemerintah, 89 persen dinikmati dunia usaha. Sementara 11 persen dinikmati kelompok rumah tangga.

Dengan rincian, 95 persen kelompok rumah tangga kategori mampu, menggunakan Solar subsidi. Sementara, hanya 5 persen rumah tangga miskin seperti petani dan nelayan yang mengonsumsi solar subsidi.

"Kalau kita lihat (dari sisi nominal subsidi) rupiahnya juga sama, 95 persen dari subsidi solar yang tadi disampaikan itu dinikmati oleh rumah tangga mampu, subsidi solar mencapai Rp 149 triliun untuk solar snediri. Jadi dari Rp 149 triliun hanya 5 persen rumah tangg tak mampu, selebihnya dunia usaha dna rumah tangga yang mampu," terang dia.

 

Perlu Tambahan

Pertalite Kosong di Sejumlah SPBU Jakarta
Pengendara sepeda motor meninggalkan SPBU saat mengetahui stok pertalite habis di salah satu SPBU kawasan Galur, Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2022). Kekosongan pertalite diduga disebabkan oleh migrasi pengguna pertamax dan BBM nonsubsidi lainnya akibat disparitas harga yang cukup tinggi. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Bendahara negara membeberkan hitungannya. Jika tren konsumsi dibiarkan terus seperti ini, pemerintah perlu menambah anggaran sebesar Rp 195,6 triliun. Sehingga totalnya menjasi Rp 698 triliun untuk subsidi energi.

Catatannya, mengikuti tren konsumsi serta mempertimbangkan kurs rupiah sebesar 14.700 per dolar AS. Serta memperhitungkan juga acuan harga minyak mentah (ICP) di sekitar USD 105 per barel.

"Artinya jumlah subsidi kita akan mencapai Ep 698 triliun dengan volume, kurs dan harga minyak yang sekarang terjadi, dan tren sampai akhir tahun," kata dia.

Kesenjangan Makin Lebar

Wacana Kenaikan Harga Pertalite
Antrean engendara motor untuk mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Kelapa Dua, Jakarta , Kamis (14/4/2022). Pemerintah memberi sinyal akan menaikkan harga Pertalite dan solar. Hal ini menjadi langkah pemerintah dalam menghadapi dampak kenaikan harga minyak mentah dunia (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sri Mulyani Indrawati juga menyampaikan akan ada kesenjangan yang makin lebar di masyarakat. Dengan kondisi, subsidi BBM masih dinikmati oleh masyarakat mampu.

Sri Mulyani mengisahkan, menurut data sejak Juli 2022, terlihat pola konsumsi BBM Subsidi. Hasilnya, banyak masyarakat yang relatif mampu ternyata mengonsumsi BBM Subsidi.

Meski negara mengalokasikan Rp 502,4 triliun, ditambah Rp 195,6 opsi tambahannya, uang tersebut akan dinilai tak tepat sasaran. Malah, akan habis karena pola konsumsi yang terjadi.

"Kita akan menciptakan kesenjangan yang makin lebar dengan susbdi, karena yang mampu (yang) nikmati subsidi dan yang tak mampu tidak menikmati (subsidi)," kata dia dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jumat (26/8/2022).

Untuk itu, diperlukan langkah untuk tetap menjaga APBN sebagai shock absorber. Artinya, subsidi tidak dicabut dan penyesuaian anggaran perlu menjadi pertimbangan. Tujuannya untuk memperbaiki manfaat distribusi subsidi ke masyarakat.

Poin kedua, menurutnya, APBN perlu terus dijaga untuk menghadapi 2023 dan 2024. Dimana potensi ketidakpastian masih tinggi.

"Ketiga, gotong royong, maayarakar mampu berkontribusi lebih banyak dibandingkan masyarakat tak mampu yang harus dibantu dengan berbagai instrumen," ujar dia.

"Saya sampaikan ini yang sama disampaikan ke presiden, ini sebuah bentuk mengani kondisi APBN, tolong dihaga dan dihitung secara cermat," imbuhnya. 

Infografis Siap-Siap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Siap-Siap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya