Liputan6.com, Surabaya - Tarif angkutan umum massal di Jawa Timur (Jatim) semakin melejit hingga mencapai 60 sampai 100 persen. Kenaikan tarif angkutan umum ini imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal tersebut disampaikan Ketua Harian Masyarakat Tranportasi Indonesia (MTI) Jatim, Bambang Haryo Soekartono.
Dia menyebut, seharusnya pemerintah sudah mempersiapkan perhitungan kenaikkan tarif angkutan umum yang ideal untuk dijadikan panduan, sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM.
Baca Juga
"Pemerintah itu harusnya sudah melakukan perhitungan sebagai guidance untuk semua transportasi publik akibat dari kenaikkan harga BBM. Karena kenaikkan itu sudah diprediksi jauh hari sebelum diumumkan," ujarnya di Surabaya, Kamis (8/9/2022).
Advertisement
Bambang mengungkapkan, dampak tidak adanya panduan resmi dari pemerintah terkait penyesuaian tarif angkutan umum sebagai dampak naiknya harga BBM. Dimana banyak angkutan umum yang menaikkan tarif dengan semena-mena.
Ia mencontohkan kenaikkan tarif bus di Bungurasih Surabaya dan Jember, dimana pemilik menaikkan tarif dengan kisaran antara 30 hingga 60 persen.
"Ada yang naik 30 persen, ada yang 50 persen, ada yang 60 persen. Bahkan katanya ada yang 100 persen. Kalau kayak gini kan yang kasihan penumpang. Itu membuat masyarakat gamang atau takut menggunakan transportasi umum," ucapnya.
Selain angkutan umum, lanjut Bambang, angkutan logistik pun turut menaikkan tarif dengan harga yang cukup tinggi. Kenaikkan tarif angkutan logistik, lanjut Bambang, berkisar antara 35 sampai 50 persen.
Angka kenaikkan yang tidak sama ini, lanjut Bambang, lagi-lagi karena pemerintah terlambat menerbitkan panduan yang bisa dijadikan acuan penyesuaian tarif.
"Saya katakan Kementerian Perhubungan gagal karena lambat membuat guidance sebagai acuan penyesuaian tarif angkutan umum maupun logistik. Ini yang mengakibatkan inflasi demikian tinggi, dan rakyat yang akan dirugikan," ujarnya.
Tarif Kapal Ferry
Bambang juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang tak kunjung menaikkan tarif kapal ferry. Bambang mengatakan, jika pemerintah tak kunjung menaikkan tarif kapal ferry, bukan tidak mungkin jumlah armada angkutan penyeberangan tersebut akan semakin berkurang.
"Dampaknya kurang lebih 30 hingga 40 persen kapal ferry tidak beroperasi, karena bayarnya BBM udah gak mampu lagi," ucap Bambang.
Sementara itu, Direktur Utama PT Dharma Lautan Utama (DLU), Erwin H Poedjono mengatakan, hingga saat ini pemerintah masih belum mengeluarkan kebijakan tarif baru. "Masih belum ada tanda-tanda kenaikan tarif resmi dari pemerintah hingga saat ini," ujarnya.
Dampak kenaikkan BBM ini, kata Erwin, pihaknya segara menaikkan tarif rata-rata sebesar 12,5 hingga 20 persen untuk jasa angkutan kepada pelanggannya terutama ekspedisi untuk dapat menyesuaikan harga untuk konsumen pemilik barang.
Menurutnya, kenaikan tarif angkutan ini merupakan komponen biaya terbesar untuk angkutan laut yaitu sebesar 55 persen dari total biaya.
Advertisement
Multiplier Effect
Erwin menyebutkan, dalam sebulan biaya untuk BBM mencapai Rp 37 miliar yang jika mengalami kenaikan sebesar 32 persen maka akan ada pertambahan biaya sebesar Rp 11,84 miliar.
"Kenaikan biaya ini hanya dari harga BBM saja belum memperhitungkan kenaikan-kenaikan biaya sebagai multiplier effect dari kenaikan harga BBM," ucap Erwin
Hal senada juga diungkapkan, Ketua Bidang Pertarifan Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (GAPASDAP) Rakhmatika Ardianto. Dia mengatakan bahwa saat ini kondisi jasa transportasi angkutan penyeberangan mulai memprihatinkan.
Pasalnya, jasa penyeberangan jalur laut ini yang menentukan tarif adalah pemerintah, mulai dari tarif, kelayakan operasional hingga keselamatan para penumpang kapal.
"Sebagian pengusaha kapal mulai mengeluh dengan peraturan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini yang masih di kantung-katungkan salah satunya soal tarif ini," ujar Rakhmatika.