Kebijakan DMO dan DPO Dinilai Kurang Tepat, Ini Saran ke Pemerintah buat Atasi Masalah Minyak Goreng

Diketahui, kebijakan DMO dan DPO untuk sawit atau CPO ini diterapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan selama lebih dari 6 bulan.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Sep 2022, 22:10 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2022, 21:54 WIB
Perkebunan kelapa sawit di Kubu Raya, Kalbar. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)
Perkebunan kelapa sawit di Kubu Raya, Kalbar. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)

Liputan6.com, Jakarta Langkah pemerintah melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) demi mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng  dinilai sebagai kebijakan yang kurang tepat.

Pemerintah juga dinilai inkonsisten dalam menetapkan berbagai kebijakan, termasuk kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyebutkan, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.

Ini dia ungkapkan dalam acara “Diskusi Virtual: Minyak Goreng Sudah Terkendali, Masihkan DMO Sawit Dibutuhkan?” yang digelar Jumat (16/9/2022).

"DMO dan DPO ini adalah kebijakan destruktif yang menyebabkan turunnya ekspor. Penurunan ekspor itu menyebabkan turunnya pungutan pajak dan penerimaan negara, yang kemudian menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi. Ini tentu saja merugikan negara," jelas dia.

Bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO dinilai bisa menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.

"DMO dan DPO itu tidak hanya merugikan pelaku usaha tetapi juga pemerintah karena penerimaan negara turun. Ini makin memperjelas pentingnya penghapusan kebijakan DMO dan DPO yang destruktif,” tutur Tungkot.

Hal senada juga diungkapkan Akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha. Ia menyebutkan, DMO merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan agar ekspor CPO tercukupi.

Namun, pemerintah tidak memiliki perhitungan yang detail sehingga DMO ini perhitungannya tidak jelas.

“Kenaikan harga minyak goreng disebabkan harga CPO yang kuantitasnya meningkat sehingga dibutuhkan kebijakan DMO. Itu merupakan suatu kebijakan yang dibuat berdasarkan dugaan mengenai suatu masalah. Tetapi, apakah hipotesisnya itu benar? Karena apabila tidak sesuai ekspektasi, akan merugikan perekonomian bagi masyarakat,” tutur Ketua LPEM UI itu.

 

 

Saran Buat Pemerintah

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

 Eugenia merekomendasikan agar kebijakan ini dihapuskan karena akan berpengaruh ke pasokan dan pertumbuhan ekonomi.

“Dari beberapa informasi, kelangkaan minyak goreng itu bukan disebabkan oleh tidak tersedianya CPO dalam negeri. Dengan demikian, pembatasan ekspor atau penghentian ekspor bukan merupakan kebijakan yang tepat,” ungkapnya.

Diketahui, kebijakan DMO dan DPO ini diterapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan selama lebih dari 6 bulan.

Kebijakan non tariff barrier ini membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS.

Hal ini, kata Eugenia, karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan.

“Karena terbukti inefisien, sebaiknya kebijakan DMO dan DPO dihapus. Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat,” kata Eugenia.

Usulan Lain

ISPO kembali menyerahkan sertifikat kepada 40 perusahaan kelapa sawit di Indonesia 5 diantaranya dikantongi anak perusahaan Astra Agro. (Foto: Astra Agro)
ISPO kembali menyerahkan sertifikat kepada 40 perusahaan kelapa sawit di Indonesia 5 diantaranya dikantongi anak perusahaan Astra Agro. (Foto: Astra Agro)

Pemerintah, saran Eugenia, dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor dan bea keluar untuk mengendalikan volume ekspor CPO.

Hasil pungutan ekspor CPO seharusnya dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali.

Menurut Eugenia, kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di pasar internasional. Naiknya harga minyak goreng juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan.

Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April – 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3%.

Pemerintah telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2022 adalah sebesar 5.45%. Apabila tidak ada penghentian ekspor, maka PDB triwulan II 2022 diperkirakan sebesar 3.009 triliun rupiah atau pertumbuhan ekonomi adalah 8.5%.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya