Potret Kegigihan Pelinting Tembakau Salatiga

Kegigihan Siti Sunarti, perempuan 48 tahun itu menjalani profesinya sebagai pelinting di pabrik Sigaret Kretek Tangan di Salatiga, Jawa Tengah selama 22 tahun sembilan bulan membuahkan hasil.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Okt 2022, 18:30 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2022, 18:30 WIB
Kegigihan Siti Sunarti, perempuan 48 tahun itu menjalani profesinya sebagai pelinting di pabrik Sigaret Kretek Tangan di Salatiga, Jawa Tengah
Kegigihan Siti Sunarti, perempuan 48 tahun itu menjalani profesinya sebagai pelinting di pabrik Sigaret Kretek Tangan di Salatiga, Jawa Tengah selama 22 tahun sembilan bulan membuahkan hasil.

Liputan6.com, Jakarta Siti Sunarti, perempuan 48 tahun itu menjalani profesinya sebagai pelinting di pabrik Sigaret Kretek Tangan di Salatiga, Jawa Tengah selama 22 tahun sembilan bulan. Dedikasi dan kegigihannya dalam bekerja kini telah membuahkan hasil.

Dari kerja kerasnya, Siti panggilan akrab berhasil menyekolahkan dua anaknya sampai selesai. Rasa bangga dan syukur itu tak henti-hentinya diucap oleh Siti karena telah mengantarkan anak-anaknya menuju pintu gerbang kesuksesan.

Siti mulai bekerja di pabrik SKT Salatiga pada tahun 2000, tepatnya ketika kedua buah hatinya masih kecil.

Kini anak pertamanya bernama Wahid Saiko Panggandi (28) sudah lulus di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Saraswati Salatiga.

Sedangkan anak keduanya bernama Septiana Fauziah (25) sudah diwisuda sebagai sebagai sarjana di salah satu perguruan tinggi di Salatiga dengan memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif atau IPK cumlaude 3.89.

Dari awal ia tidak punya pikiran menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Ia justru dihantui dengan rasa pesimis karena memang kondisi ekonominya pada saat itu belum mapan.

Suaminya yang hanya bekerja serabutan penghasilannya tidak cukup untuk membiayai sekolah anaknya.

Siti yang hanya lulusan SMA merasa pesimis bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan apa yang dia harapkan. Namun, berkat usaha dan kerja kerasnya, Siti memberanikan melamar pekerjaan di pabrik SKT Salatiga.

Siti akhirnya diterima sebagai karyawan dan penghasilan yang ia terima setiap bulan bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga bahkan menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

"Saya melihat anak saya (yang diwisuda) pakai seragam toga itu saya sempat gemetar, saya sempat nangis, yah ternyata saya kok bisa menyekolahkan anak sampai ke jenjang S1 cumlaude. IPK-nya itu 3.89. Saya tidak terbayangkan rasanya seperti itu," ucap Siti.

 


Tarif Cukai Bikin Was-Was

Ilustrasi tembakau rokok (pexels)
Ilustrasi tembakau rokok (pexels)

Anak pertama Siti kini sudah menikah dan bekerja di sebuah perusahaan sepatu di Salatiga. Siti juga telah dikaruniai dua orang cucu dari pernikahan anak pertamanya tersebut.

Rasa bahagia Siti semakin lengkap anak keduanya juga sudah diterima di perusahaan yang sama dengan kakaknya.

Namun kebahagiaan itu dibayangi rasa was-was. Sebab, pemerintah memberikan sinyal bakal menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2023. Siti berharap kebijakan pemerintah tidak berdampak pada pengurangan produksi ataupun pemberhentian kerja.

Di satu sisi, Siti masih memiliki banyak harapan dari pabrik SKT tempatnya bekerja. Meski sudah berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai selesai, Siti mempunyai keinginan yang belum terwujud.

Keinginan Siti adalah bisa menunaikan rukun Islam kelima yakni melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Selain itu, Siti harus menikahkan anak bungsunya. Sebagai orangtua, dirinya memiliki tanggung jawab menikahkan anak perempuannya tersebut.

"Kami berharap pabrik ini terus berjalan tidak ditutup. Kami memohon kepada pemerintah agar melindungi kami sebagai buruh linting di pabrik SKT. Karena di sini kami sebagai tulang punggung keluarga," pinta Siti.

Tiga kali melamar kerja tidak diterima

Siti menceritakan awal mula dirinya bisa diterima bekerja di pabrik SKT Salatiga. Sebelumnya, ia pernah melamar pekerjaan sebanyak tiga kali di perusahaan tetapi tidak pernah diterima.

 


Pengalaman Kerja di Pabrik

20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Siti sempat merasa putus asa karena memiliki dua anak belum mendapatkan pekerjaan yang mapan. Siti kemudian mencoba melamar pekerjaan di pabrik SKT Salatiga. Ia mengetahui ada lowongan pekerjaan dari adiknya yang sudah lebih dulu bekerja. Setelah itu dia melamar pekerjaan dan akhirnya diterima sebagai karyawan.

"Dulu adik saya kebetulan bekerja di sini. Saya kan keadaan menganggur tidak punya pekerjaan dan punya anak dua. 'Saya dibilangin, mbak di pabrik SKT Ngawen itu ada lowongan. Kalau mau silahkan melamar'," kata Siti.

Pertama kali masuk kerja di pabrik, Siti langsung di tempat di bagian produksi. Setelah itu ia dipercaya sebagai mandor (pengawas) di bagian produksi selama 10 tahun. Siti kemudian dipindahkan ke bagian giling dan dijadikan sebagai mandor sampai sekarang.

Siti menyampaikan alasan yang membuat dirinya betah bekerja di pabrik SKT Salatiga sampai sekarang adalah selain lingkungan pekerjaan yang nyaman dan bersih, juga berkat dukungan dari keluarga terutama anak-anaknya.

"Alhamdulillah, anak-anak terus mendukung saya. Tapi kalau ibunya agak capek anak-anak langsung menyuruh saya istirahat," ungkap warga Kecamatan Sidomukti, Salatiga.

Siti mengungkapkan yang membuat dirinya bersyukur ketika masa sulit pandemi melanda pada 2020, pabrik SKT Salatiga tempatnya bekerja tetap berusaha bertahan dan tidak melakukan pengurangan karyawan.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya