Liputan6.com, Jakarta - Dunia membutuhkan rata-rata biaya karbon sebesar USD 75 atau sekitar Rp 1,1 juta per ton pada akhir dekade, untuk tercapainya target pengurangan gas rumah kaca.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, di sela-sela pertemuan iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir.
Dilansir dari US News, Selasa (8/11/2022)Â Georgieva dalam kesempatan itu juga menyebut, laju perubahan dalam ekonomi riil masih terlalu lambat.
Advertisement
Analisis yang berafiliasi dengan Bank Dunia baru-baru ini juga mengungkapkan bahwa jumlah total komitmen secara global untuk mengurangi emisi yang merusak iklim akan turun hanya 11 persen pada pertengahan abad ini.
"Kecuali jika harga karbon pada lintasan yang setidaknya mendorong rata-rata USD 75 per ton karbon pada tahun 2030, kita sama sekali juga tidak mengeluarkan insentif bagi bisnis dan konsumen untuk beralih," bebernya.
Sementara beberapa kawasan seperti Uni Eropa telah menetapkan harga karbon di atas tingkat itu, dengan patokan sekitar 76 euro per ton, wilayah lain seperti negara bagian California di AS melihat tunjangan karbon dipatok hanya di bawah USD 30 per ton.
Adapun wilayah lainnya yang tidak memiliki patokan biaya sama sekali.
"Masalahnya adalah bahwa di banyak negara, tidak hanya di negara-negara miskin, di seluruh dunia, penerimaan biaya tanggungan polusi masih rendah," sebut Georgiva.
Tetapi Georgieva juga menyoroti adanya rute berbeda yang bisa diambil suatu negara. Penghasil emisi terbesar kedua di dunia, Amerika Serikat, misalnya, di mana negara tersebut mungkin sulit untuk menetapkan harga karbon nasional mengingat perbedaan preferensi terhadap pajak karbon dan sistem 'cap-and-trade'.
"Fokus saja pada kesetaraan. Apakah AS memilih untuk mengenakan biaya karbon melalui regulasi dan rabat daripada melalui pajak atau perdagangan, itu tidak masalah. Yang penting adalah harga yang setara," tukasnya.Â
Georgieva mengutip proposal IMF untuk harga dasar karbon dan proposal yang disampaikan Jerman tentang 'klub karbon' dari negara ekonomi terbesar dunia, yang akan mengoordinasikan bagaimana negara anggota mengukur dan menentukan harga emisi karbon, serta memungkinkan kerja sama memangkas emisi di sektor industri terbesar.
"Apakah akan ada terobosan di COP ini atau setelahnya, itu harus diputuskan segera karena kita hampir kehabisan waktu untuk sukses dalam transisi ini," tegasnya.
IMF: Bantuan Negara Maju Tak Cukup Atasi Perubahan Iklim
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengeluarkan pernyataan menohok terkait penanganan perubahan iklim global.
Georgieva mengatakan, bantuan dan pendanaan dari negara maju tidak akan cukup untuk menutup kesenjangan pendanaan pada inisiatif perubahan iklim di negara berkembang.
Menurutnya, diperlukan banyak investasi swasta untuk membantu negara-negara berkembang memenuhi target perubahan iklim mereka.
"Kita tidak akan pernah menyelesaikannya jika mengandalkan kemurahan hati negara-negara kaya, karena terlalu besar jika hanya dengan uang publik," ujar Georgieva, dikutip dari CNBC International, Senin (7/11/2022).
"Jadi yang paling penting di sini, dan di bulan-bulan berikutnya, adalah bekerja tanpa henti untuk menciptakan peluang bagi investasi swasta di negara berkembang," ungkapnya kepada CNBC, selama wawancara di KTT perubahan iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir.
Menjelang KTT tersebut, PBB juga menyerukan peningkatan pendanaan dan implementasi tindakan untuk membantu negara-negara yang rentan dengan keadaan darurat iklim.
"Perubahan iklim adalah pukulan terhadap umat manusia, seperti yang kita lihat sepanjang 2022," jelas Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB Inger Andersen, mengutip bencana banjir di Pakistan.
Laporan PBB mengungkapkan, negara-negara yang rentan dan berkembang akan membutuhkan biaya antara USD 160 miliar dan USD 340 miliar pada akhir dekade untuk membuat perubahan terkait iklim, dan hingga USD 565 miliar pada tahun 2050.
"Kebutuhan adaptasi di negara berkembang akan meroket hingga USD 340 miliar per tahun pada tahun 2030. Namun dukungan adaptasi saat ini kurang dari sepersepuluh dari jumlah itu," beber Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres.
"Masyarakat dan komunitas paling rentan dan bisa menanggung imbasnya. Ini tidak bisa diterima," tandasnya.
Advertisement
Ketua IMF : Stabilitas Iklim di Negara Berkembang Mampu Amankan Perdagangan
Georgieva melanjutkan, bahwa membantu negara-negara berkembang memenuhi target perubahan iklim merupakan hal yang penting bagi negara maju.
"Jika kita membiarkan guncangan iklim, berulang kali, untuk menghancurkan negara-negara miskin, kita berkontribusi pada ketidakstabilan yang dirasakan Eropa sangat kuat, terutama ketika arus migrasi meningkat," katanya.
Dia menambahkan, stabilitas di negara berkembang juga mengamankan perdagangan antara negara maju dan berkembang.
"Jika Anda ingin ekonomi Anda diekspor ke negara-negara ini, harus ada kemakmuran dan stabilitas di sana," pungkas Georgieva.
Georgiva memperingatkan, gangguan dalam rantai pasokan yang disebabkan oleh peristiwa perubahan iklim dapat menimbulkan risiko yang lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh pandemi.
Selain itu, juga perlu adanya dorongan yang besar untuk membuat bisnis di negara maju bertanggung jawab atas pengurangan emisi, serta pajak serta peraturan adalah pengungkit yang dapat digunakan pemerintah.
"Kita harus menyadari bahwa kita berada jauh di belakang di mana kita seharusnya melindungi kesejahteraan anak-anak kita. Jika Anda melihat dekade ini — 2020 hingga 2030 — kita harus mengurangi emisi antara 25 dan 50 persen sementara emisi terus bertambah," tukas Georgiva.