Tolak Sistem Kerja No Work No Pay, KSPI: Langgar UU Ketenagakerjaan!

KSPI menolak sistem kerja no work no pay. Hal ini menanggapi usulan pengusaha terkait sistem kerja tersebut untuk mencegah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

oleh Tira Santia diperbarui 11 Nov 2022, 14:10 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2022, 14:10 WIB
20160929-Demo-Buruh-Jakarta-FF
Ribuan buruh dari berbagai elemen melakukan longmarch menuju depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak sistem kerja no work no pay. Hal ini menanggapi usulan pengusaha terkait sistem kerja tersebut untuk mencegah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, prinsip no work no pay melanggar Undang-Undang atau UU Ketenagakerjaan.

"Hal itu melanggar UU Ketenagakerjaan. Dan upah buruh Indonesia bersifat upah bulanan, bukan upah harian. Dalam UU Ketenagakerjaan tidak boleh memotong gaji pokok," kata Said Iqbal dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (11/11/2022.

Di samping itu, dalam Pasal 93 UU Ketenagakerjaan ditegaskan, bahwa upah buruh harus tetap dibayar jika buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidakmempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha. Dalam hal ini buruh ingin tetap bekerja, bukan dirumahkan. Maka upah harus tetap dibayar.

"Terkait dengan dalih merumahkan untuk menghindari PHK, itu hanya akal-akalan saja. Tidak ada alasan untuk pengusaha lakukan PHK karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaik nomor 3 dunia," kata Said Iqbal.

"Dan Indonesia menjadi negara terkaya nomor 7 terbaik dunia, melampaui Inggris dan Perancis. Tapi upah buruh indonesia rendah sekali akibat omnibus law," tegasnya.

 

 

Cegah PHK

Aksi Buruh Geruduk Balai Kota Jakarta
Sejumlah buruh saat melakukan aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (26/10/2021). Pada aksi tersebut massa buruh menuntut kenaikan UMP 2022 sebesar 10 persen, berlakukan UMSK 2021 dan mencabut UU Omnibus Law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, pengusaha meminta kepada pemerintah untuk membuat kebijakan mengenai fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay. Permintaan itu adalah untuk mencegah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah tengah membicarakan usulan dari pengusaha mengenai sistem no work no pay. 

Perlu banyak pertimbangan untuk membuat aturan ini karena melibatkan banyak pihak seperti pengusaha dan buruh atau pekerja.  

Anwar memastikan sedang mempertimbangkan semuanya. “Ya artinya kalau permintaan mereka tentunya kita sedang godok, kita juga sedang pertimbangkan semuanya karena kan kalau kita berbicara masalah terkait ketenagakerjaan itu kan dari dua sisi harus kita perhatikan dari sisi pekerja, dari sisi pengusaha tentunya kita carikan solusi yang terbaik,” ujar dia, kepada media, Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Oleh karena itu, lanjutnya, Kemnaker melakukan adanya dialog sosial bipartit untuk menghindari PHK di tengah dinamika perekonomian. Pihaknya juga siap untuk mendampingi semua pihak tersebut dalam mencari win-win solution.

“Apapun lah, mudah-mudahan kita bisa tentunya mengantisipasi apapun dengan kebijakan sebaik-baiknya,” jelas Anwar.

Lebih lanjut, pihaknya akan terus memepetimbangkan banyak aspek dan dari sisi lainnya. “Kita sendiri kan juga baru menerima, artinya kita akan mempelajari artinya usulan itu, kita akan mempertimbangkan banyak aspek. Tadi saya katakan ini kan usulan satu sisi, kita kan juga harus mempertimbangkan sisi yang lain. Pokoknya gini, apapun kebijakan itu prinsipnya kita mencari solusi terbaik dari segala pilihan yang ada,” tambahnya.

Tepis Isu PHK, Buruh Curiga Cuma Akal-akalan Pengusaha agar UMP 2023 Tak Naik

Buruh Geruduk Balai Kota Tuntut UMP 2023 Naik 13 Persen
Massa buruh yang tergabung dalam Konfederensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) di Balai Kota DKI, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Massa buruh menuntut Penjabat (PJ) Gubernur DKI Heru Budi Hartono untuk menaikkan UMP 2023 sebesar 13 persen dan menolak PP 36 Tahun 2021 sebagai acuan kenaikan upah 2023. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai penyebaran informasi terkait pemutusan hubungan kerja atau PHK massal di industri tekstil merupakan akal-akalan para pengusaha. Tujuannya agar Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 tidak mengalami kenaikan.

"Tidak ada PHK terhadap 45 ribu garmen dan tekstil sebagaimana yang disebut kalangan pengusaha," kata Presiden KSPI Said Iqbal saat dikonfirmasi Merdeka.com di Jakarta, Rabu (9/11/2022).

Said melanjutkan, pemberitaan mengenai PHK massal di industri otomotif juga tidak benar adanya. Berdasarkan catatan KSPI, saat ini belum ada aksi PHK massal yang dilaporkan oleh anggotanya.

"Tidak benar ada PHK di sektor automotif. Itu bohong, karena 70 persen perusahaan otomotif adalah anggota FSPMI. Dan kami melihat tidak ada PHK," tegasnya.

Said mengatakan, isu PHK massal sengaja dihembuskan oleh para pengusaha agar seakan-akan kinerja sektor bisnis di Indonesia masih menghadapi kesulitan.

Padahal, kinerja ekonomi Indonesia terus mengalami perbaikan meski dihadapkan pada persoalan ketegangan geopolitik dunia akibat kian memanasnya konflik Rusia dan Ukraina.

"Pengusaha hitam memanfaatkan situasi ini untuk meminta tidak ada menaikan upah dan melakukan PHK dengan memberi pesangon murah dan menggantinya dengan buruh outsourcing," bebernya.

Oleh karena itu, KSPI mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tak terpengaruh oleh isu PHK massal yang kian santer disuarakan sejumlah pengusaha dalam memutuskan kenaikan UMP 2023.

"Jangan takut-takuti rakyat. Itu tugasmu," ucap Said Iqbal.

Permintaan Loyo, Pengusaha Tekstil PHK 45.000 Karyawan di 2022

Aksi Ratusan Buruh Tolak UU Cipta Kerja
Presiden KSPI Said Iqbal saat berorasi di depan para buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020). Massa buruh dari berbagai serikat pekerja tersebut menggelar demo terkait penolakan pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah merumahkan sebanyak 45 ribu karyawan di sepanjang tahun 2022. Kabar pahit ini disampaikan secara langsung oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja.

"45 ribu karyawan industri tekstil di rumahkan, itu data dari anggota seperti itu," kata Jemmy saat dikonfirmasi Merdeka.com di Jakarta, Rabu (26/10).

Jemmy menerangkan, aksi PHK massal ini tak lepas dari turunnya permintaan akan produk tekstil Indonesia imbas lonjakan inflasi global yang disebabkan ketegangan geopolitik dunia. Terutama, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa sebagai pasar utama ekspor produk tekstil asal Indonesia.

Menurut Jemmy, akibat lonjakan inflasi tersebut membuat daya beli masyarakat di negara tujuan ekspor produk tekstil Indonesia melemah. Sehingga, mereka lebih memilih untuk menunda kegiatan belanja pakaian di tengah situasi ekonomi sulit.

Jemmy menambahkan, pelemahan permintaan produk tekstil dalam negeri juga diperparah oleh aksi agresif banyak bank sentral negara maju untuk menaikkan suku bunga acuan. Alhasil, masyarakat dunia tengah saat ini tengah dibebani kenaikan biaya cicilan kredit.

"Jadi, mereka (konsumen) utamakan untuk kebutuhan pangan dulu makanan. Sedangkan tekstil bukan kebutuhan primer," ujarnya.

Infografis Buruh Tuntut Upah Minimum 2022 Naik 10 Persen. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Buruh Tuntut Upah Minimum 2022 Naik 10 Persen. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya