Tolak Perppu Cipta Kerja Jadi UU, Buruh Cemas Muncul Upah Murah dan Outsourcing

Buruh mengecam keras dan menolak sikap Badan Legislatif DPR RI yang setuju membawa Perppu Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang di dalam Sidang Paripurna

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 16 Feb 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2023, 19:00 WIB
Aksi Buruh Tolak Perpu Cipta Kerja
Buruh mengecam keras dan menolak sikap Badan Legislatif DPR RI yang setuju membawa Perppu Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang di dalam Sidang Paripurna. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Buruh mengecam keras dan menolak sikap Badan Legislatif DPR RI yang setuju membawa Perppu Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang di dalam Sidang Paripurna. Sikap DPR itu dinilai bertentangan dengan keinginan masyarakat luas, termasuk di dalamnya kelas pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut, ada 9 poin yang disorot oleh kaum buruh terhadap isi Perppu Cipta Kerja. Pertama, terkait dengan upah minimum.

"Perppu kembali kepada upah murah dan tidak lazim. Di situ dikatakan upah minimum kabupaten/kota dapat ditetapkan oleh Gubernur. Kata dapat mengandung arti bisa ditetapkan, bisa juga tidak. Sehingga di sini tidak ada kepastian terhadap UMK," ujarnya, Kamis (16/2/2023).

Menurut dia, indeks tertentu di dalam pasal upah minimum tidak dikenal dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILOm. Yang dikenal adalah, upah minimum kenaikannya didasarkan pada living cost. Kedua, berdasarkan makro ekonomi, dalam hal ini inflansi, dan pertumbuhan ekonomi.

"Hal lain yang ditentang dari upah minimum adalah hilangnya Upah Minimum Sektoral (UMS) dan adanya pasal yang menganulir pasal sebelumnya, yaitu formula kenaikan upah minimum bisa berubah sesuai keadaan ekonomi," ungkap dia.

Outsourcing

Kedua, mengenai outsourcing, dimana Iqbal Perppu Cipta Kerja menyebutkan jenis pekerjaan yang diperbolehkan outsourcing akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah. Ia mengklaim pemerintah telah melegalkan perbudakan modern, sekaligus menempatkan negara seperti agen outsourcing.

"Yang boleh menentukan jenis pekerjaan mana yang bisa di-outsourcing dan mana yang tidak boleh adalah pemerintah. Itu artinya, Negara menempatkan dirinya sebagai agen outsourcing. Seharusnya pembatasan outsourcing dilakukan melalui undang-undang," keluhnya.

 

Pesangon

Aksi Ratusan Buruh Tolak UU Cipta Kerja
Presiden KSPI Said Iqbal saat berorasi di depan para buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020). Massa buruh dari berbagai serikat pekerja tersebut menggelar demo terkait penolakan pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Poin ketiga, terkait dengan pesangon. Di dalam UU Cipta Kerja, Iqbal menyatakan nilai pesangon sangat rendah. Jika di dalam UU 13 Tahun 2003 menggunakan istilah pesangon sekurang-kurangnya satu kali ketentuan, di dalam Perppu yang sekarang akan menjadi undang-undang pesangon dikunci hanya satu kali.

"Bahkan, di dalam aturan turunannya untuk beberapa jenis PHK pesangonnya berkurang lagi, hanya mendapat pesangon 0,50 kali ketentuan," seru Iqbal.

Permasalahan selanjutnya yakni sistem pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mudah. Kebijakan mudah rekrut dan pudah pecat, lanjutnya, adalah untuk kepentingan kapitalis liberal.

"Dalam Perppu yang sekarang akan menjadi UU Cipta Kerja, outsourcing dibebaskan, upah murah, PHK mudah, pesangon rendah, lalu kemana peran negara?" tanya dia.

Buruh juga mempersoalkan karyawan kontrak, dimana dalam Perppu Cipta Kerja tidak ada periode kontak. Meskipun ada pembatasan waktu 5 tahun, namun periodenya tidak ada batasan. Sehingga buruh bisa dikontrak berulangkali tanpa pengangkatan menjadi karyawan tetap.

 

Pengaturan Cuti

Aksi Buruh Tolak Perpu Cipta Kerja
Elemen buruh menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (10/1/2023). Massa aksi yang menolak Perppu Cipta Kerja tersebut terlihat membawa bendera berwarna merah memenuhi halaman depan gedung DPR. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Keenam, turut disoroti pengaturan cuti yang berpotensi menghilangkan cuti panjang. Disamping itu, cuti haid dan melahirkan memang benar diberikan, tetapi tidak ada kepastian upahnya dibayar.

"Terlebih lagi dengan system kerja outsourcing dan kontrak yang semakin fleksibel, menyebabkan buruh ketakutan tidak diperpanjang kontraknya ketika mengambil cuti haid dan melahirkan," kata Iqbal.

Ketujuh, pengaturan jam kerja. Salah satunya hanya mengatur mengenai libur dalam sepekan hanya 1 hari untuk 6 hari kerja. Tapi libur 2 hari dalam sepekan untuk 5 hari kerja dihapus.

"Permasalahan kedelapan dan kesembilan, adalah persoalan terkait dengan tenaga Kerja asing dan dihapusnya beberapa sanksi pidana," pungkasnya.

Infografis 6 Pasal Sorotan UU Cipta Kerja
Infografis 6 Pasal Sorotan UU Cipta Kerja (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya