Harga Gula Internasional Naik, Peluang Indonesia Tingkatkan Produksi

Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi, menilai kondisi harga gula dunia yang naik akibat pasokan yang melandai.

oleh Tira Santia diperbarui 25 Mei 2023, 15:29 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2023, 15:29 WIB
gula-pasir
Pekerja tengah menata gula pasir di Gudang Bulog Jakarta, Selasa (14/2). Kesepakatan pembatasan harga eceran gula pasir atau gula kristal putih bakan dilaksanakan bulan depan oleh pemerintah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi, menilai kondisi harga gula dunia yang naik akibat pasokan yang melandai, bisa menjadi peluang yang baik untuk Indonesia.

“Benar kita memang harus mengantisipasi kenaikan tersebut, namun ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk mulai meningkatkan produksinya secara bertahap, sehingga Indonesia bisa kembali menjadi salah satu produsen gula yang diperhitungkan,” kata Arief di Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Badan Pangan Nasional menyatakan, kenaikan harga gula internasional itu memang nyata adanya. Kenaikan itu disebabkan berbagai faktor dari mulai perubahan peruntukan tebu menjadi etanol di Brazil, hingga menurunnya produksi di India dan Thailand.

Kondisi tersebut mengakibatkan pasokan secara global turun dan harga gula dunia menjadi naik. Tentu hal itu turut berdampak kepada harga berbagai aspek yang berkaitan dengan gula di dalam negeri.

Untuk itu, pihaknya terus mendorong agar proses review dan penyesuaian Harga Acuan Pembelian/Penjualan (HAP) Gula Konsumsi bisa segera rampung dan diundangkan.

Menurutnya, angka HAP yang lebih tinggi dari sebelumnya dapat menstimulus para petani tebu semakin giat berproduksi, dengan begitu bisa mendongkrak produksi gula nasional kedepannya.

 

Tata Kelola Industri Gula

Geliat Petani Tebu di Tengah Ekspansi Gula Impor
Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Bulog hanya membeli sekitar 100 ribu ton, sehingga sebagian petani terpaksa menjual gula dengan harga di bawah Rp 9.000 per Kg. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Di sisi lain, Arief juga mendorong pembenahan tata kelola industri gula nasional dari sisi on farm dan off farm. 

Adapun beberapa tantangan yang tengah dibenahi diantaranya, terkait harga dan ketersediaan pupuk serta perluasan lahan kebun tebu untuk memenuhi bahan baku tebu pabrik gula.

Lebih lanjut, Arief menegaskan, prioritas pemerintah saat ini adalah menjaga keseimbangan harga gula nasional baik di tingkat petani, pelaku industri, pedagang, dan konsumen.

Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang meminta agar harga komoditas pangan dipastikan stabilitas dan keseimbangannya, sehingga petani, pedagang, dan konsumen bisa mendapatkan benefit yang wajar. 

Usul Petani: HPP Gula Tani Naik, Harga Acuan Pemerintah Dihapus

Gula Pasir
Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani. Salah satunya soa harga pokok penjualan atau HPP gula di tingkat petani yang diusulkan sebesar RP 15.014 per kilogram pada 2023. Pada 2022, HPP gula dipatok Rp 11.500 per kg.

"Untuk HPP, APTRI mengusulkan Rp15.000/kg," kata Sekretaris Jenderal APTRI, Nur Khabsyin, Jakarta, Sabtu (13/5/2023).

Usulan kenaikan HPP itu tentu bukan tanpa alasan. APTRI berpandangan, bahwa penyesuaian harga pembelian di tingkat petani ini telah dipertimbangkan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula dari sejumlah komponen yang mengalami kenaikan.

"Wajar, jika HPP naik dikarenakan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula juga naik, antara lain kenaikan biaya akibat pemakaian pupuk non subsidi, upah tenaga kerja, dan biaya transportasi," tutur dia.

Selain itu, penyesuaian harga di tingkat petani pun perlu dilakukan karena adanya penurunan produksi tebu. "Saat ini, terjadi penurunan produksi tebu di kebun, dimana rata-rata penurunannya sekitar 20 persen. Jadi, misalkan satu hektar bisa keluar 100 ton sekarang tinggal menjadi 80 ton tebu. Penyebabnya antara lain adalah perubahan iklim akibat El-Nino,” katanya. Belum lagi, lanjut Nur Khabsin, adanya permasalahan di pemupukan yang dinilai membuat aktivitas tanam jadi terkendala sehingga membuat penurunan produksi menjadi semakin sulit dihindari.

"Produksi tebu terus menurun dikarenakan pemupukan yang tidak optimal, dimana pupuk semakin mahal dan langka. Sehingga, banyak petani yang memupuk tebu tidak tepat waktu. Selain itu, dosis pupuk ini tidak bisa maksimal." beber dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya