Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak mentah dunia terus menunjukan tren pelemahan hingga kisaran USD 74,5 per barrel. Situasi ini berkebalikan dari tahun lalu, dimana harga minyak dunia sempat tembus di atas USD 100 per barrel.
Namun, penurunan itu tidak diikuti oleh harga BBM milik PT Pertamina (Persero). Khususnya BBM subsidi semisal Pertalite dan Solar, yang masing-masing tetap dijual Rp 10.000 per liter dan Rp 6.800 per liter.
Baca Juga
Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjelaskan alasan harga BBM tidak turun saat harga minyak dunia terpangkas. Menurutnya, Pertamina menahan kenaikan harga Pertalite dan Solar saat minyak dunia melonjak.
Advertisement
Kebijakan itu membuat arus kas Pertamina negatif. Sehingga membuat perseroan tidak ikut menurunkan harga BBM saat harga minyak mentah dunia merosot, demi menjaga kinerja keuangan yang sudah merah.
"Saya koreksi juga soal subsidi nih, supaya masyarakat paham ini. Kita kan ditentukan Rp 1.100. Ketika harga minyak lagi tinggi, pemerintah kan enggak naikin minyak. Pertamina tuh nombok. Itu kalau liat arus kasnya Pertamina merah semua," kata Ahok di Jakarta, dikutip Rabu (19/8/2023).
Meski begitu, Ahok memastikan Pertamina tidak mengambil untung besar dari penjualan BBM. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini lantas membandingkan harga BBM yang dijual Pertamina dengan operator swasta.
"Terus kenapa minyak turun (harga BBM) enggak turun? Karena bandingin swasta. Waktu naik kan kita enggak naikin. Waktu turun, kita jual minyak di SPBU itu ambil untung udah paling tipis. Karena memang tugas pemerintah," ungkapnya.
Ahok tak ingin kenaikan harga BBM justru merugikan masyarakat. Oleh karenanya, Pertamina terpaksa mengalah untuk menanggung beban subsidi sebagian produk BBM.
"Prinsipnya kalau bisa jangan bebankan ke masyarakat. Kalau tidak mau bebankan minyak ke masyarakat, ya jelas penghematan," ujar Ahok.
Harga Minyak Lesu, Siap-siap Penerimaan Hulu Migas Terpangkas
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memprediksi, penerimaan negara dari sektor hulu migas tahun ini akan berada di bawah target yang ditetapkan dalam APBN 2023.
Penyebabnya, lantaran harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) 2023 yang merosot jauh dibanding 2022 silam.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Khairi melaporkan, harga minyak mentah Indonesia pada semester I tahun ini jauh di bawah target APBN 2023 yang ditetapkan sebesar USD 90 per barel.
"ICP kalau kita cermati di sepanjang tahun 2022 kemarin mencapai USD 97 per barel. Sepanjang semester I ini hanya USD 75,24 (per barel)," ujar Kurnia di Kantor SKK Migas, Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Faktor kedua yang sangat berpengaruh yakni lifting dari minyak dan gas. Realisasi lifting minyak di 6 bulan pertama tahun ini mencapai 615,5 ribu barel per hari (BPH). Itu naik 0,16 persen dibandingkan capaian semester I 2022 sebesar 614,5 ribu BPH.
Namun, itu masih di bawah target realisasi lifting minyak semester I 2023 sebesar 618,7 BPH, atau setara 99,5 persen dari target.
Advertisement
Realisasi Produksi Gas
Sementara realisasi produksi gas selama semester pertama tahun ini sebesar 5.308 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Turun 0,3 persen dibandingkan dengan semester I tahun lalu yang mampu 5.326 MMscfd.
"Memang untuk minyak bisa dikatakan sedikit meningkat dibandingkan semester I 2022. Cuman untuk gas tercatat masih lebih rendah," imbuh Kurnia.
Kurnia menilai, kondisi tersebut tentu akan jadi tantangan untuk mencapai outlook di sepanjang 2023. Pasalnya, dengan target penerimaan negara sebesar USD 15,9 miliar di sepanjang 2023 dari sektor hulu migas, realisasi per semester I 2023 masih di kisaran USD 6,8 miliar,
"Kita perkirakan akan ada sedikit penurunan di realisasinya nanti (hingga akhir 2023). Mungkin tidak akan full mencapai USD 15,9 billion, mungkin hanya maksimum USD 13 billion," kata dia.