Liputan6.com, Jakarta Survei terbaru oleh Oxford Economics mengungkapkan bahwa ketegangan geopolitik dianggap sebagai ancaman terbesar bagi bisnis dan ekonomi global. Survei Risiko Global Oxford Economics di kuartal ketiga 2023 mencakup 127 bisnis pada periode 6-27 Juli tahun ini.
Melansir CNBC International, Kamis (3/8/2023) kepala skenario makro dan penulis survei Oxford Economics, Jamie Thompson mengatakan bahwa studi itu mengkonfirmasi persepsi risiko ekonomi telah berubah secara signifikan untuk bisnis.
Survei tersebut menunjukkan sekitar 36 persen bisnis yang disurvei memandang ketegangan geopolitik sebagai risiko utama saat ini, salah satunya yang terjadi di Taiwan, Korea Selatan, dan Rusia-NATO.
Advertisement
"Ketegangan geopolitik kini menjadi fokus perhatian utama, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah," ungkapnya.
Sementara bisnis terus melihat lonjakan inflasi sebagai risiko jangka pendek yang signifikan, survei Oxford Economic menunjukkan, bisnis tampak lebih yakin bahwa inflasi pada akhirnya akan mereda.
"Ekspektasi responden untuk inflasi harga konsumen dunia mencapai 3,7 persen pada tahun 2024, 0,2ppts di bawah perkiraan dasar terbaru kami," beber Thompson.
"Inflasi yang diharapkan dalam jangka menengah telah turun secara signifikan, melepaskan kenaikan yang terlihat selama dua tahun terakhir" tambahnya.
Perilisan survei ini datang di tengah ketegangan antara Amerika Serikat dan China, ketika hubungan bilateral kedua negara mencapai titik terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satunya situasi di Taiwan, di mana China bersikeras bahwa urusan di kawasan itu merupakan urusan dalam negeri, di mana Beijing menganggap pulau yang diperintah sendiri secara demokratis itu sebagai bagian dari wilayahnya.
Survei tersebut juga menyoroti meredanya kekhawatiran atas risiko terkait sistem perbankan. Tapi masalahnya tetap tinggi.
Sekitar 30 persen responden Oxford Economics masih melihat pengetatan pasokan kredit atau krisis keuangan besar-besaran sebagai salah satu risiko utama untuk jangka pendek.
Studi serupa di bulan April menemukan bahwa hampir separuh responden memandang pengetatan pasokan kredit atau krisis keuangan besar-besaran sebagai risiko utama pada ekonomi global dalam waktu dekat.
Pengusaha Anggap Geopolitik Sebagai Risiko yang Signifikan pada Bisnis dan Ekonomi
Beberapa investor, seperti Kevin O'Leary, telah memperkirakan siklus kenaikan suku bunga Federal Reserve AS yang sedang berlangsung dapat menyebabkan lebih banyak kegagalan bank regional di negara itu.
Bank regional AS yang sudah kolaps salah satunya adalah First Republic, Silicon Valley Bank, dan Signature Bank telah gulung tikar sejak Maret.
Lembaga-lembaga tersebut digoyahkan oleh siklus pengetatan moneter The Fed yang telah mengalami kenaikan suku bunga sebanyak 11 kali berturut turut sejak Maret 2022.
Namun, risiko geopolitik terus menjadi faktor utama bagi bisnis sebagai perhatian utama selama lima tahun ke depan. Lebih dari 60 persen dari mereka yang disurvei Oxford Economics melihatnya sebagai risiko yang sangat signifikan bagi ekonomi dunia.
“Seperti yang dilaporkan kuartal lalu, lebih dari tiga per lima responden memandang risiko geopolitik sebagai risiko yang sangat signifikan terhadap ekonomi global dalam jangka menengah,” kata Thompson.
“Intensifikasi ketegangan geopolitik berpotensi memicu deglobalisasi perdagangan dan sistem keuangan yang signifikan,” tambahnya.
Advertisement
Deglobalisasi Menjadi Kekhawatiran Lainnya
Selain itu, deglobalisasi menjadi risiko ketiga yang paling banyak dikutip dalam survei terbaru Oxford Economics, dipandang sebagai risiko yang sangat signifikan oleh 23 persen responden.
Adapun 25 persen responden lainnya yang melihat penurunan suku bunga kebijakan awal sebagai salah satu risiko kenaikan teratas. Di China, bisnis melihat "lebih sedikit peluang untuk kemajuan yang didorong oleh China."
Dana Moneter Internasional baru-baru ini mencatat, pemulihan ekonomi China pasca-Covid kehilangan tenaga dan berdampak buruk pada ekonomi dunia.
"Pelemahan berkelanjutan di sektor real estat China membebani investasi, permintaan asing tetap lemah, dan pengangguran kaum muda yang meningkat dan meningkat, sebesar 20,8 persen pada Mei 2023, menunjukkan kelemahan pasar tenaga kerja," kata IMF dalam sebuah laporan.