Masyarakat Minim Pengetahuan Asuransi, Ini Sederet Penyebabnya

Setidaknya ada 3 hambatan yang disenut mental blocker yang tengah dihadapi oleh Indonesia Re. Ketiganya menjadi penghambat penetrasi asuransi di masyarakat.

oleh Arief Rahman H diperbarui 25 Okt 2023, 19:45 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2023, 19:45 WIB
Direktur Manajemen Risiko, Kepatuhan, SDM dan Corporate Secretary Indonesia Re, Robbi Y Walid. (Dok Indonesia Re)
Direktur Manajemen Risiko, Kepatuhan, SDM dan Corporate Secretary Indonesia Re, Robbi Y Walid. (Dok Indonesia Re)

Liputan6.com, Jakarta Kontribusi sektor asuransi terhadap perekonomian nasional dinilai belum optimal. Salah satu sebabnya adalah minimnya pemahaman di tengah masyarakat soal pentingnya asuransi terhadap risiko.

Hal ini memjadi tantangan tersendiri, mengingat industri perasuransian menjadi salah satu penopang sektor jasa keuangan nasional. Direktur Manajemen Risiko, Kepatuhan, SDM dan Corporate Secretary Indonesia Re, Robbi Y Walid mengatakan masyarakat masih banyak menunda untuk membeli asuransi.

"Jika dilihat dari angka penetrasi maupun densitasnya, kontribusi industri perasuransian nasional terhadap pertumbuhan sektor perekonomian nasional masih terbilang belum optimal. Hal ini disebabkan oleh rendahnya awareness masyarakat terhadap pentingnya berasuransi serta tingkat literasi asuransi dan keuangan masyarakat yang masih terbilang rendah," urai Robbi dalam keterangannya, Rabu (25/10/2023).

"Tugas kami disini tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga mengupayakan untuk mengubah stigma masyarakat terkait asuransi itu sendiri," imbuhnya.

Dia mengudentifikasi, setidaknya ada 3 hambatan yang disenut mental blocker yang tengah dihadapi oleh Indonesia Re. Ketiganya menjadi penghambat penetrasi asuransi di masyarakat. 

Pertama yaitu ‘innocent’ alias minimnya informasi dan edukasi terkait proteksi asuransi, termasuk akses untuk mendapatkan informasi dan edukasi tersebut. Kedua adalah ‘procrastination’ alias keinginan untuk menunda membeli proteksi asuransi karena merasa belum memiliki urgensi. Ketiga, adalah ‘struggle’ alias perasaan bahwa mereka tidak akan mampu membeli atau menjangkau polis asuransi.

"Melalui kepemilikan literasi keuangan dan asuransi, masyarakat diharapkan mampu memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhannya, mampu membuat perencanaan keuangan yang baik, mampu bertanggung jawab pada keputusan keuangan yang diambil, serta dapat terhindar dari aktivitas investasi pada instrumen keuangan yang tidak legal," paparnya.

Keuangan Makin Stabil

Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)
Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)

Lebih lanjut, Robbi menerangkan jika angka literasi keuangan dan penetrasi asuransi meningkat, maka penggunaan produk keuangan akan ikut terangkat. Dengan demikian, kondisi keuangan masyarakat diramal akan makin stabil kedepannya.

“Kami akan terus berupaya berkontribusi dalam peningkatan literasi keuangan dan asuransi melalui program-program yang kami miliki. Selain itu, kami juga akan terus merumuskan strategi untuk peningkatan literasi keuangan dan asuransi agar tetap relevan dengan generasi saat ini," jelasnya.

"Indonesia Re berharap bahwa melalui peningkatan literasi ini, masyarakat akan menyadari pentingnya asuransi sebagai pelindung finansial mereka dari risiko yang tidak terduga, bukan sekadar produk yang dapat dibeli. Ini juga diharapkan dapat meningkatkan kontribusi industri asuransi nasional untuk pembangunan negara,” tutup Robbi.

Klaim Polis di Dunia Meningkat

Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)
Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)

Sebelumnya, Kondisi hardening market masih menjadi perhatian khusus pelaku industri asuransi dan reasuransi hingga 2024 mendatang. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi pasar asuransi global.

PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) alias Indonesia Re masih melihat peluang hardening market berkepanjangan. Namun, kenaikan harga dan pengetatan aturan yang terjadi di luar negeri, disebut tak tidak diikuti oleh pasar asuransi dan reasuransi Indonesia.

"Kami melakukan koreksi itu pada tahun 2022 yang lalu dan di tahun ini hal tersebut masih menjadi concern perusahaan," kata Direktur Teknik Operasi Indonesia Re Delil Khairat dalam keterangannya, Minggu (15/10/2023).

Perlu diketahui, hardening market merupakan istilah untuk menggambarkan meningkatnya klaim polis asuransi yang berpengaruh pada profitabilitas. Dampaknya, biaya asuransi atau pengetatan aturan akan diberlakukan perusahaan.

"Kami akan mereview retensi perusahaan asuransi agar tetap relevan dengan pertumbuhan dan inflasi. Selain itu, kami juga akan mendorong transparansi yang lebih kuat dalam berbisnis dan berkomitmen untuk meningkatkan kualitas underwriting untuk meningkatkan performa industri secara keseluruhan," ungkap Delil.

 

 

Hadapi Tantangan

Menghadapi tantangan itu, Indonesia Re akan menggelar pertemuan para pelaku bisnis asuransi dan reasuransi di Bali, dalam waktu dekat. Itu merupakan pertemuan tahunan antar relasi dari industri asuransi umum menjelang renewal treaty atau pembaruan kontrak reasuransi treaty pada ajang Indonesia Rendezvous di Bali.

"Bagi Indonesia Re, renewal treaty adalah kesempatan untuk mengkonsolidasikan posisi Indonesia Re sebagai treaty leader dalam industri asuransi dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia Re ingin mendukung stabilitas industri asuransi, yang pada gilirannya membantu perekonomian secara keseluruhan," kata dia.

Dia menjelasman, renewal treaty bukan hanya tentang perpanjangan polis asuransi, tetapi juga merupakan bagian integral terhadap perekenomian Indonesia. "Harapannya proses renewal treaty yang akan dilewati di bulan November-Desember dapat menjadi momentum perbaikan bagi industri secara umum," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya