Liputan6.com, Jakarta Perang Israel-Hamas yang berkepanjangan disebut akan mengerek harga minyak dunia yang juga meningkatkan inflasi. Indonesia disebut akan terkenda dampak terusannya.
Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan, dengan kenaikan harga minyak dunia dan inflasi, maka negata di dunia akan terdampak. Termasuk juga bagi Indonesia yang terlibat dalam suplai minyak global.
"Jika perang Hamas -Israel terus berlangsung, lalu Israel terus menggempur Gaza secara brutal, maka tak menutup kemungkinan akan memunculkan kemarahan di banyak pihak, terutama negara-negara anggota OPEC," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (31/10/2023).
Dengan kenaikan harga minyak dunia tadi, Ronny menaksir inflasi akan melambung. Alhasil, negara-negara di dunia akan terimbas hal tersebut.
Advertisement
Harga BBM Naik
Dampak itu, akan terus meluas dan disinyalir juga akan terasa di Indonesia. Diketahui, harga minyak dunia akan memaksa penyesuaian harga BBM nantinya, maka, harga lain yang bergantung BBM akan ikut naik.
"Jika itu terjadi, maka efek lanjutannya akan sangat buruk. Jika harga minyak naik, dunia bisa kembali di bawah bayang-bayang inflasi. Termasuk Indonesia," ungkapnya.
"Pemerintah akan dipaksa untuk melakukan penyesuaian harga BBM dalam negeri, lalu membuat inflasi kembali tinggi. Kalau inflasi menjadi tinggi, BI akan menaikan suku bunga lagi, lalu sektor riil akan semakin tercekik," jelas Ronny.
Boikot Produk Bisa Efektif?
Berbarengan dengan makin kerasnya serangan Israel, muncul gerakan untuk memboikot produk-produk yang disinyalir mendukung Israel. Tak sedikit, sejumlah pihak di Indonesia juga mulai memboikot beberapa produk di dalam negeri.
Namun, Ronny memandang langkah itu tak akan berdampak dalam jangka waktu yang lama. Mengingat dampak dari boikot produk yang ada di dalam negeri akan juga berpengaruh ke ekonomi nasional.
"Sementara soal himbauan boikot produk Amerika, berkaca pada pengalaman-pengalaman lalu, hanya suara sesaat saja. Karena bagaimanapun, merek-merek besar milik Amerika menyediakan lapangan pekerjaan yang tak sedikit di sini, yang akan menjadi korban jika perusahaan Amerika diboikot," pungkasnya.
Advertisement
Perang Israel-Hamas Bisa Kerek Harga Minyak Dunia
Perang Israel-Hamas yang terus memanas disebut akan mengerek harga minyak dunia makin tinggi. Alhasil, kondisi ekonomi global juga akan terpengaruh.
Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan kemungkinan tersebut. Bahkan, ada dua jalur minyak dunia yang akan terdampak.
"Perang Hamas vs Israel jika terus berkembang memang bisa mendisrupsi jalur pasokan minyak dunia, baik dari Persian Gulf ke Asia maupun dari Mediterania ke Eropa," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (31/10/2023).
Dia mengatakan akan terjadi perang proxy antara pihak di kubu Israel seperti Amerika Serikat dan negata barat. Serta, kubu pembela Palestina di lingkaran non-barat seperti Iran, China, Rusia, dan Timur Tengah.
Dia menjelaslqn, jika Israel terus menggempur Gaza tanpa henti, ada kemungkinan Iran masuk secara tidak langsung. Misalnya mengganggu jalur pasokan migas yang akan mengereknya ke level USD 100 per barel.
"Iran bisa saja mulai terlibat secara tidak langsung dengan mengganggu jalur pasokan migas di Persian Gulf ke Asia atau Eropa, yang bisa menyebabkan kelangkaan pasokan dan mengerek harga minyak mentah ke level 100 USD per barel, bahkan bisa lebih," jelasnya.
Tak cuma itu negara Arab seperti Arab Saudi dan anggota OPEC bosa sjaa mengurangi produksi sebagai bentuk protes ke AS yang mendukung Israel.
"Seperti yang terjadi di saat perang Yom Kippur 1973, di mana harga minyak dunia naik tajam, dan ekonomi Amerika langsung dilanda "Great Inflation"," ungkap Ronny.
Belum Mandiri Migas
Lebih lanjut, Ronny memandang dampak ke negara mitra AS. Jika kenaikan harga minyak dunia itu terjadi, mungkin saja AS tak terdampak karena sudah mandiri dari sisi migas.
Hanya saja, negara mitranya yang tidak mandiri. Sebut saja ada Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia dan lainnya yang tidak mandiri secara migas.
"Artinya imbasnya akan mengenai banyak negara mitra strategis Amerika juga, yang tentunya tak diinginkan oleh Amerika, mengingat Amerika sendiri tak mampu menjadi alternatif penyedia BBM untuk semua mitra strategisnya," urainya.
"Dengan kata lain, Amerika pasti tak menginginkan banyak negara berpaling ke Rusia yang menyediakan BBM murah di pasar global," tegasnya.
Advertisement