APBN Catat Defisit Rp 700 Miliar pada Oktober 2023

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai mencatat defisit pada Oktober 2023, setelah sebelumnya mengalami surplus anggaran sejak awal tahun 2023.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 24 Nov 2023, 18:47 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2023, 16:45 WIB
Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai mencatat defisit pada Oktober 2023, setelah sebelumnya mengalami surplus anggaran sejak awal tahun 2023.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai mencatat defisit pada Oktober 2023, setelah sebelumnya mengalami surplus anggaran sejak awal tahun 2023.

“Postur APBN sudah mulai defisit sebesar Rp. 700 miliar atau 0,003 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto)," kata Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi November 2023, disiarkan Jumat (24/11/2023).

Sri Mulyani menambahkan, meski ada defisit di bulan Oktober keseimbangan primer masih terjaga.

“Dari sisi keseimbangan primer surplus Rp 365,4 triliun,” ungkapnya.

Sebagai informasi, keseimbangan primer adalah total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.

Sri Mulyani memaparkan, pada akhir Oktober 2023 pendapatan negara yang terdiri dari pajak, bea-cukai dan PNBP telah mencapai Rp 2.240,1 triliun.

“Ini artinya 90,9% dari target (APBN) tahun ini sudah terkumpulkan dan ini naik 2,8% dari tahun lalu,” terangnya.

Menkeu lebih lanjut mengungkapkan, belanja negara sampai dengan akhir Oktober 2023 telag mencapai Rp. 2.240,8 triliun. Angka ini hampir sama angkanya secara nominal antara pendapatan dan belanja negara.

“Namun belanja negara ini baru 73,2% dari total pagu anggaran yang ada di dalam undang-undang APBN,” beber Sri Mulyani, seraya menambahkan bahwa Ini artinya belanja negara dari tahun lalu turun 4,7% dari sisi posisi akhir Oktober 2023.

Pendapatan Negara hingga Oktober 2023 Tembus Rp 2.240 Triliun, 90,9% dari Target

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Rabu (25/10/2023). (Tira/Liputan6.com)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Rabu (25/10/2023). (Tira/Liputan6.com)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat pendapatan negara yang berasal dari pajak, bea dan cukai serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah mencapai Rp 2.240,1 triliun.

“Ini artinya 90,9% dari target (APBN) tahun ini sudah terkumpulkan dan ini naik 2,8% dari tahun lalu,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi November 2023, Jumat (24/11/2023).

Menkeu lebih lanjut mengungkapkan, belanja negara sampai dengan akhir Oktober 2023 telag mencapai Rp 2.240,8 triliun. Angka ini hampir sama angkanya secara nominal antara pendapatan dan belanja negara.

“Namun belanja negara ini baru 73,2% dari total pagu anggaran yang ada di dalam undang-undang APBN,” beber Sri Mulyani, seraya menambahkan bahwa Ini artinya belanja negara dari tahun lalu turun 4,7% dari sisi posisi akhir Oktober 2023.

“Dengan posisi ini, maka postur APBN sudah mulai defisit sebesar Rp. 700 miliar atau 0,003% dari PDB. Namun dari sisi keseimbangan primer surplus Rp. 365,4 Triliun,” paparnya.

Kemudian dari sisi belanja pemerintah, APBN telah membelanjakan untuk pemerintah pusat sebesar 1.572,7 triliun atau 70% dari total pagu anggaran atau anggaran yang sudah dianggarkan untuk tahun ini.

Untuk pemerintah pusat, belanja Kementerian/Lembaga telah mencapai Rp. 768,7 triliun atau 76,8% dari total pagu yang sudah ditetapkan bagi seluruh kementerian dan lembaga.

Sri Mulyani mengatakan, “Ini terutama belanja yang cukup terlihat adalah dari mulai pelaksanaan Pemilu, pembangunan IKN, hingga penyelesaian infrastruktur”.

Pendapatan Negara dari Pajak Natura Tak Besar, Tapi Ciptakan Keadilan

Pemerintah resmi menetapkan pemotongan pajak natura dan kenikmatan (fasilitas non tunai) yang diterima karyawan mulai 1 Juli 2023. Dengan begitu, beberapa barang, fasilitas atau kenikmatan dari kantor atau natura akan menjadi objek pajak penghasilan (PPh).

Namun begitu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai, potensi penerimaan negara dari objek pajak baru tersebut tidak akan terlalu signifikan.

"Menurut pandangan saya ini bukan masalah berapa besar potensinya, tapi terkait ketaatan dan keadilan pajak," ujar Piter kepada Liputan6.com, Jumat (7/7/2023).

"Mereka yang mendapatkan penghasilan baik penghasilan cash maupun natura harus diperlakukan sama. Kalau dari sisi berapa yang akan diterima, menurut saya tidak akan sangat-sangat besar," ungkapnya.

Piter menganggap pengenaan pajak natura ini bakal menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. Sebab, mereka yang mendapatkan penghasilan natura hanya kelompok jabatan tertentu, tidak semua jabatan.

"Jadi walaupun secara individu bisa terhitung besar, tetap secara agregat tidak akan sangat-sangat besar. Tapi dengan pengenaan pajak natura ini akan lebih adil," kata Piter.

Adapun kebijakan terkait pajak natura atau kenikmatan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan akan menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh).

Namun, tidak semua fasilitas yang diberikan pemberi kerja atau perusahan menjadi objek pajak. Sehingga natura dan/atau kenikmatan dalam jenis dan batasan nilai tertentu dikecualikan dari objek PPh.

Infografis Postur APBN 2016 (Liputan6.com/Yoshiro)
Infografis Postur APBN 2016 (Liputan6.com/Yoshiro)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya