Liputan6.com, Jakarta Pengembang properti swasta terbesar di China, Country Garden memperkirakan pasar properti akan tetap lemah pada tahun 2024 dan perusahaan dapat menghadapi lebih banyak tantangan yang berat.
Country Garden sendiri telah mengalami gagal bayar obligasi luar negerinya senilai USD 11 miliar pada Oktober 2023, dan memperpanjang pembayaran obligasi dalam negeri tahun lalu, termasuk di antara daftar panjang yang menghadapi krisis uang tunai sejak dilanda krisis utang pada pertengahan 2021.
Ketua Country Garden, Yang Huiyan mengatakan dalam akun resmi Weibo perusahaan, bahwa pasar properti China belum pulih seperti yang diharapkan tahun lalu dan masih dalam koreksi.
Advertisement
"Tantangan yang harus dihadapi perusahaan tahun ini mungkin lebih berat dari yang kita bayangkan; kita harus meresponsnya dengan tenang," kata Presiden Country Garden Mo Bin, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (17/1/2024).
Yang Huiyan memperkirakan pasar akan berada pada level rendah pada tahun 2024, namun prospek berbagai kota dan antara perusahaan milik negara dan swasta akan semakin berbeda.
Pengiriman rumah tetap menjadi prioritas utama tahun ini, kata perusahaan itu, dan memperkirakan dapat menyerahkan 480.000 rumah kepada pembeli, 20 persen lebih sedikit dari 600.000 unit yang diserahkan pada tahun 2023, yang merupakan jumlah terbesar di China.
Pada Maret 2023 lalu, Yang Huiyan mengatakan bahwa perusahaannya akan menutup semua bisnis sampingannya kecuali kontrak konstruksi, proyek pembangunan untuk perusahaan lain – serta bisnis robot konstruksi, karena perusahaan tersebut berupaya meningkatkan margin dan menurunkan biaya.
Country Garden mengatakan pada hari Senin sejauh ini pihaknya telah mengkomersialkan 28 jenis rumah dan telah menyerahkan 2,890 unit ke klien.
Unit konstruksi kontraknya telah membangun 30 pembangunan senilai 24,4 miliar yuan dan menduduki peringkat ke-11 pada tahun 2023 di negara tersebut dalam hal luas bangunan.
IMF: Selamatkan Ekonomi, China Perlu Reformasi Struktural
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgiva mengingatkan bahwa China memerlukan reformasi struktural untuk menghindari penurunan ekonomi yang signifikan.
Saat menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Georgieva mengungkapkan, China menghadapi tantangan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang.
Mengutip CNBC International, Selasa (16/1/2024) Georgiva mengatakan bahwa tantangan jangka pendek yang dihadapi perekonomian China adalah krisis sektor properti yang masih perlu diperbaiki, seiring dengan tingginya tingkat utang pemerintah daerah.
Tantangan jangka panjang, adalah perubahan demografis dan hilangnya kepercayaan publik.
"Pada akhirnya, yang dibutuhkan China adalah reformasi struktural untuk terus membuka perekonomian, untuk menyeimbangkan model pertumbuhan lebih mengarah pada konsumsi domestik, yang berarti menciptakan lebih banyak kepercayaan pada masyarakat, sehingga mereka tidak menabung, mereka membelanjakan lebih banyak," kata Georgieva.
"Semua ini akan membantu China menghadapi apa yang kami prediksi jika tidak ada reformasi, yaitu penurunan tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan di bawah 4 persen," paparnya.
Seperti diketahui, perekonomian China mengalami pertumbuhan yang lamban pada tahun 2023, terhambat oleh masalah sektor properti dan penurunan ekspor.
Investor memperkirakan perekonomian negara ktu akan tumbuh sekitar 5 persen tahun lalu.
Secara terpisah, IMF mengatakan pada bulan November bahwa mereka telah menaikkan perkiraan pertumbuhan China menjadi 5,4 persen untuk tahun 2023 setelah beberapa langkah kebijakan oleh Beijing.
Namun, lembaga yang berbasis di Washington, D.C. ini mengatakan pihaknya masih memperkirakan pertumbuhan China akan melambat menjadi 4,6 persen pada tahun 2024, memperingatkan akan berlanjutnya krisis di sektor properti.
Advertisement
Tengok Sederet Jurus China Pulihkan Ekonomi
China tengah berupaya untuk meningkatkan permintaan domestik, untuk mendorong pemulihan ekonominya.
Hal itu diungkapkan dalam laporan sementara rencana lima tahun China yang ke-14, diterbitkan oleh parlemen negara itu pada Rabu (27/12).
"(China) akan memprioritaskan pemulihan dan perluasan konsumsi, menstabilkan konsumsi massal dan mendorong konsumsi jasa," kata Zheng Shanjie, kepala badan perencanaan ekonomi China, dikutip dari Channel News Asia, Kamis (28/12/2023).