Liputan6.com, Jakarta Filipina berencana mengusulkan pembentukan kerangka peraturan di Asia Tenggara terkait teknologi Kecerdasan Buatan (AI), berdasarkan rancangan undang-undang negara tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Kongres Filipina, Martin Romualdez dalam sebuah panel di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
Baca Juga
Mengutip Channel News Asia, Kamis (18/1/2024), Martin Romualdez mengungkapkan bahwa Filipina akan menyajikan kerangka hukum kepada Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ketika negara tersebut memimpin blok tersebut pada tahun 2026.
Advertisement
"Sebagai hadiah, kami ingin memberikan kerangka hukum kepada ASEAN yang mencakup digitalisasi, bahkan dalam kebijakan ekonomi kami, itu merupakan prioritas utama,” kata Martin Romualdez.
"Selain itu, juga tentang keamanan siber, serta kekhawatiran dan permasalahan terkait kecerdasan buatan generatif, sebuah bidang yang memerlukan banyak dukungan dan regulasi. Kami merasa bahwa di ASEAN, kami dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan perkembangan ini, namun dalam kerangka dukungan regulasi untuk ini," jelasnya.
Langkah ini tentunya dapat menjadi sebuah tantangan bagi ASEAN, sebuah wilayah yang berpenduduk hampir 700 juta jiwa dan 10 negara dengan peraturan yang berbeda-beda dalam mengatur sensor, kekayaan intelektual, misinformasi, media sosial, dan penggunaan internet.
Usulan Filipina sendiri kontras dengan langkah-langkah yang diambil sejauh ini oleh negara-negara ASEAN, yang telah mengambil pendekatan ramah bisnis terhadap regulasi AI, menurut rancangan “panduan etika dan tata kelola AI” ASEAN yang beredar pada Oktober 2023.
Seperti diketahui, regulator di seluruh dunia tengah berlomba-lomba merancang peraturan terkait penggunaan AI generatif, yang memicu antusias dan kekhawatiran akan potensi AI untuk mengubah industri.
Sektor yang Rentan
Romualdez menyebut, undang-undang tentang AI generatif sangat penting bagi Filipina karena sektor outsourcing proses bisnisnya “berada di bawah ancaman besar”.
"Ini adalah sektor yang sangat rentan di industri yang sangat cerah saat ini. Namun kami melihat transformasi personel dan peningkatan keterampilan personel ke tingkat yang mendukung AI generatif kemungkinan besar merupakan arah yang sangat logis untuk diambil," imbuhnya.
"Merupakan kewajiban kami di Kongres untuk menghasilkan kerangka hukum yang tidak hanya cocok untuk Filipina, namun juga sangat, sangat sesuai untuk ASEAN," pungkasnya.
Advertisement
IMF: AI Jadi Ancaman Negara Berkembang dan Berpenghasilan Rendah
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa hampir 40 persen pekerjaan di seluruh dunia dapat terdampak oleh meningkatnya Kecerdasan Buatan (AI).
IMF menyebut, negara-negara berpendapatan tinggi menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan negara-negara berkembang dan negara-negara berpendapatan rendah.
Dikutip dari CNBC International, Selasa (16/1/2024) lembaga yang berbasis di Washington, D.C. ini menilai potensi dampak AI terhadap pasar tenaga kerja global dan menemukan bahwa dalam banyak kasus, teknologi tersebut cenderung memperburuk kesenjangan secara keseluruhan.
Karena itu, Ketua IMF Kristalina Georgieva mendesak para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah yang timbul dari tren tersebut dan secara proaktif mengambil langkah-langkah pencegahan "ketegangan sosial."
"Kita berada di ambang revolusi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas, meningkatkan pertumbuhan global, dan meningkatkan pendapatan di seluruh dunia. Namun hal ini juga dapat menggantikan lapangan kerja dan memperdalam kesenjangan," kata Georgieva.
Pekerjaan Terdampak
IMF mencatat bahwa sekitar 60 persen pekerjaan dapat terkena dampak AI di negara-negara berpenghasilan tinggi, dan sekitar setengah dari negara-negara tersebut mungkin mendapat manfaat dari integrasi AI untuk meningkatkan produktivitas.
Sebagai perbandingan, paparan AI diperkirakan mencapai 40 persen di negara-negara berkembang dan 26 persen di negara-negara berpenghasilan rendah.
Temuan ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang dan negara-negara berpendapatan rendah menghadapi lebih sedikit gangguan akibat AI dalam jangka pendek.
Selain itu, IMF juga mencatat bahwa banyak dari negara-negara ini tidak memiliki infrastruktur pekerja terampil untuk memanfaatkan manfaat langsung dari AI, sehingga meningkatkan risiko bahwa teknologi tersebut dapat memperburuk kesenjangan.
Advertisement