Fakta-Fakta Pajak Hiburan yang Diprotes Inul Daratista dan Hotman Paris

Pajak hiburan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) baru-baru ini ramai diperbincangkan publik, lantaran diprotes pengusaha karaoke Inul Daratista.

oleh Tira Santia diperbarui 18 Jan 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2024, 16:00 WIB
Banner Infografis Heboh Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)
Pajak hiburan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) baru-baru ini ramai diperbincangkan publik. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Pajak hiburan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) baru-baru ini ramai diperbincangkan publik, lantaran tarif pajak hiburan dianggap naik terlalu tinggi.

Ramainya terkait pajak hiburan tersebut semakin mencuat setelah pengacara kondang Hotman Paris yang dulu juga pernah menjadi pemegang saham Hollywings, hingga penyanyi dangdut Inul Daratista yang merupakan pemilik tempat karaoke Inul Vizta, mengeluhkan terkait kenaikan tarif pajak hiburan.

Hotman dan Inul membagikan keluhannya tersebut melalui akun media sosial masing-masing. Mereka tak terima dengan kenaikan tarif pajak hiburan minimal sebesar 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Menurut mereka, kenaikan itu bisa berimbas pada iklim usaha di sektor industri hiburan. Karena kenaikan tarifnya sangat signifikan dibanding yang ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Berikut fakta-fakta terkait pajak hiburan, dirangkum Liputan6.com, Kamis (18/1/2024).

1. Perbedaan Pajak Hiburan Lama dan Baru

Ketentuan pajak hiburan terbaru tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Dalam aturan tersebut, jasa kesenian dan hiburan dikategorikan sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Dalam Pasal 58 ditetapkan tarif PBJT paling tinggi 10 persen.

Namun, khusus untuk tarif PBJT atas jasa hiburan untuk diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Sementara sisanya adalah 10 persen, yang terdiri dari jasa kesenian dan hiburan meliputi tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; dan pameran.

Selanjutnya, pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran.

Kemudian, rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang.

Sementara, dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009. Dimana pajak hiburan dikategorikan menjadi pajak kabupaten/kota.

Pada Pasal 42 UU PDRD tertulis bahwa hiburan yang dimaksud diantaranya tontonan film; pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; dan kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya.

Selanjutnya, pameran; diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; sirkus, akrobat, dan sulap; dan permainan bilyar, golf, dan boling.

Lalu, pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan pertandingan olahraga.

Pada Pasal 45 UU PDRD tertulis bahwa tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35 persen. Namun, khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75 persen, tanpa menyebutkan batas tarif minimal seperti di UU HKPD.

2. Alasan Tarif Pajak Hiburan dinaikkan

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJP Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana mengungkapkan yang menjadi dasar penerapan pajak ini adalah demi keadilan.

Lydia menjelaskan, hal itu mempertimbangkan bahwa jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa pada umumnya hanya di konsumsi masyarakat tertentu.

Oleh karena itu, menurutnya perlu penetapan tarif batas bawah atas jenis tersebut guna mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha.

“Penetapan tarif, Pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlumendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” kata Lydia, Selasa (16/1/2024).

 

3. Pajak PBJT justru Turun

HEADLINE: Heboh Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen, Dampak ke Pariwisata?
Ilustrasi karaoke, salah satu jenis usaha yang akan dikenai pajak hiburan 40--75 persen. (dok. Kane Reinholdtsen/Unsplash)

Penurunan tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan secara umum justru turun, dari semula sebesar paling tinggi 35 persen menjadi paling tinggi 10 persen.

Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir sebagai bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian.

Pemerintah juga memberikan pengecualian terkait jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Hal ini menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah.

“PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah suatu jenis pajak baru, sudah ada sejak Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pada masa itu, objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan telah dipungut dengan nama pajak hiburan,” kata Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lydia Kurniawati Christyana dalam kesempatan media briefing Pajak Hiburan, di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (16/1/2024).

Jenis kesenian dan hiburan yang kena pajak 10 persen meliputi: (i) tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; (ii) pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; (iii) kontes kecantikan; (iv) kontes binaraga; (v) pameran; (vi) pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; (vii) pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor.

Kemudian, (viii) permainan ketangkasan; (ix) olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan danperlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; (x) rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebunbinatang; (xi) panti pijat dan pijat refleksi.

Untuk kategoeri (xii) diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan pajak 40-75 persen.

4. Kemenkeu Bakal Ajak Pelaku Usaha Diskusi

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, akan mengundang pelaku usaha untuk mendiskusikan terkait pajak barang jasa tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan atau biasa disebut pajak hiburan.

“Kami bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan berbicara dengan para pelaku usaha hiburan spa dan karaoke. Kemenparekraf sepakat untuk kita bicara dengan asosiasi, kami akan jadwalkan,” kata Lydia Kurniawati Christyana.

Adapun dalam penentuan tarif pajak hiburan, Kementerian Keuangan telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk pembahasan bersama DPR.

“Pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” jelasnya.

Maka dengan demikian Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sangat terbuka jika ada ketentuan yang tidak disetujui atau butuh uji materi (judicial review).

 

5. Pengusaha Bisa Ajukan Diskon Pajak

Infografis Ragam Tanggapan Heboh Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Heboh Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana, mengatakan pelaku usaha disektor hiburan dapat mengajukan insentif fiskal jika merasa keberatan dengan kenaikan sebesar 40 persen hingga 75 persen.

"Jadi, kalau saat ini memang belum mampu dengan tarif 40 persen, silakan berdasarkan assestment daerahnya melakukan pengurangan pokok pajaknya, memberikan pembebasan ataupun penghapusan dari pokok pajak," kata Lydia.

Menurut Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023. Insentif fiskal dapat diberikan atas permohonan pelaku usaha atau wajib pajak atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, kemampuan membayar wajib pajak dan/atau wajib retribusi. Hal ini dimaksud apabila

pengusaha selaku wajib pajak belum mampu secara usaha menerapkan tarif 40 persen, maka Kepala Daerah dapat memberikan insentif fiskal.

Kedua, kondisi tertentu objek pajak, seperti objek pajak yang terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak.

Ketiga, untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro. Keempat, untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah (pemda) dalam mencapai program prioritas daerah. Kelima, untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.

6. Beberapa Daerah telah terapkan pajak 75 persen

Terdapat beberapa daerah yang telah menerapkan tarif pajak hiburan sebesar 75 persen, sebelum adanya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Beberapa daerah tersebut memang sudah lama mematok tarif pajak hiburan 75 persen yang mengacu pada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009.

"Ini sama, pada saat mereka mengimplementasikan UU 28 itu memang mereka sudah memberikan tarif 75 persen," kata Lydia.

Dalam kesempatan tersebut, Lydia hanya menyebutkan tujuh daerah saja yang tercatat menerapkan tarif pajak hiburan 75 persen, diantaranya Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kabupaten Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), serta Kabupaten Belitung Timur (Kepulauan Bangka Belitung).

Kemudian, ada juga Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Grobokan (Jawa Tengah), serta Kota Tual (Maluku).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya