Indonesia Terancam Rugi Besar Gara-Gara Aturan Ini, Apa Itu?

Dari sisi penerimaan negara, terdapat indikasi penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp 52,08 triliun jika aturan pengetatan di industri tembakau dilakukan.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Jan 2024, 08:15 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2024, 08:15 WIB
Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)
Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah menyusun aturan baru  terkait pengetatan di industri hasil tembakau. Namun hal ini menjadi sorotan karena didominasi oleh larangan terhadap produk tembakau. Misalnya larangan iklan produk tembakau hingga larangan penjualan rokok ketengan.

Ekonom pun mengungkapkan aturan tersebut berpotensi memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dapat terjadi jika aturan tembakau yang bersifat restriksi bagi industri hasil tembakau tersebut tidak direvisi.

“Pertumbuhan ekonomi akan turun sekitar 0,53 persen jika pasal-pasal (tembakau) tersebut diberlakukan. Dari sisi penerimaan negara, terdapat indikasi penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp 52,08 triliun,” ungkap Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad dikutip dari Merdeka.com, Senin (22/1/2024).

Dalam kajiannya, Indef juga melakukan perbandingan antara biaya kesehatan yang ditimbulkan dari industri hasil tembakau dengan kerugian ekonomi yang ditimbulkan jika pengetatan di industri rokok diterapkan. Hasilnya, tidak imbang karena negara akan mengalami kerugian lebih besar.

"Perhitungan Indef di tahun 2022 menunjukkan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar sebesar Rp34,1 triliun. Sementara, kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara ini sebesar Rp103,08 triliun,” jelasnya.

Aspek Ketenagakerjaan

Selain itu, bagi aspek ketenagakerjaan, dari hasil pengukuran Indef, Tauhid memaparkan bahwa pemberlakuan aturan tersebut juga akan mengakibatkan penurunan tenaga kerja hingga 10,08 persen di sektor industri hasil tembakau. Kemudian, serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau juga akan tergerus hingga sebesar 17,16 persen.

“Seperti yang pernah saya sampaikan, industri hasil tembakau tidak ingin mati di lumbung sendiri karena ada banyak hal yang sangat bergantung pada industri hasil tembakau,” terangnya. 

Kesimpulannya, lanjut Tauhid, biaya kesehatan yang ditanggung tidak lebih besar jika dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditanggung negara. "Intinya, biaya kesehatan masih jauh lebih kecil dibandingkan dampak ekonomi yang akan ditimbulkan,” jelasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pajak Rokok dan Kenaikan Cukai Bikin Beban Industri Vape Makin Berat

Ilustrasi pajak (Istimewa)
Ilustrasi pajak (Istimewa)

Sebelumnya, Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo), Paguyuban Produsen Eliquid Indonesia (PPEI) Dan Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo) menyayangkan regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan pajak rokok elektrik

"Menurut kami selaku asosiasi yang menaungi toko toko ritel vape, yang menyayangkan Regulasi DJPK yang tidak berpihak kepada pelaku UMKM, dan merugikan masyarakat yang merasakan dapat berhenti merokok karena vape," ujar Ketua Umum Arvindo Fachmi Kurnia Firmansyah Siregar dalam keterangan tertulis, Jumat (19/1/2024).

Menurut Fachmi Kurnia, kenaikan cukai 19,5% yang secara bersamaan dengan pengenaan pajak rokok di rokok elektrik semakin membebani pelaku usaha di sektor rokok elektrik ini.

"Ini seakan ingin mematikan industri yang bukan hanya masih baru tapi dibanyak negara juga dianggap solusi lebih rendah resiko untuk orang-orang yang ingin berhenti merokok" kata Fachmi Kurnia.

Ketidakperpihakan pemerintah terhadap pelaku UMKM juga dapat dilihat dari perbandingan kenaikan cukai tiap kategori. Rokok elektrik (REL) Sistem terbuka (liquid botol) naik 19,5%, REL Sistem tertutup naik 6% dan REL Padat naik 6,5%.

Ketua umum PPEI di bidang produsenDaniel Boy menjelaskan bahwa kenaikan tarif cukai vape sistem terbuka jauh lebih tinggi dibandingkan vape sistem tertutup, hal ini sangat memberatkan dan dirasa tidak adil bagi para pelaku usaha vape.

Padahal vape sistem terbuka notabenenya didominasi oleh para pelaku usaha UMKM yang seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah, seperti yang diberlakukan pada industri rokok konvensional.

 


Langkah Kontradiktif

Ilustrasi pajak (Istimewa)
Ilustrasi pajak (Istimewa)

Paido Siahaan Ketua Umum Akvindo yang menanungi suara konsumen vape di Indonesia, menambahkan langkah sangat kontradiktif sekali disaat pemerintah Inggris memberikan 1 juta vape gratis untuk warganya yang merokok.

Di Indonesia kebijakan yang berjalan malah selalu tidak berpihak pada UMKM dan kesehatan masyarakat.

Tidak menutup kemungkinan langkah yang diambil pemerintah sekarang bisa membuat semakin maraknya vape ilegal yang diperjual belikan di marketplace secara bebas yang masih belum bisa diawasi dan ditindak sesuai hukum yang berlaku oleh pemerintah.

"Jika pajak Rokok Elektrik digunakan untuk kontribusi kesehatan, kami rasa juga kurang tepat jika mengutip UU Kesehatan terkait tingkat bahayanya bagi kesehatan, bahkan Sebuah studi di Inggris mengatakan bahwa Layanan Kesehatan Inggris (NHS), akan menghemat lebih dari £500 juta per tahun jika setengah dari perokok dewasa di Inggris menggunakan vape," ujar Paido Siahaan ketua umum Akvindo yang menanungi suara konsumen vape di Indonesia.

'Kami merasa pemerintah perlu lebih dalam memahami produk ini sebelum membuat kebijakan-kebijakan yang sesuasi profil resiko kesehatan, sesuai amanah UU Kesehatan no 17 tahun 2023 pasal 149 ayat (4) .

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya