Kesenjangan Capai Rp 64,8 Kuadriliun, Indonesia Kritisi Pembiayaan SDGs

Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengkritisi implementasi komitmen Addis Ababa Action Agenda, terkait pembiayaan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di 2030.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 24 Apr 2024, 13:00 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2024, 13:00 WIB
800 Juta Warga India Hidup Dalam Kemiskinan
Seorang gadis muda memandikan saudaranya di sebelah jalur kereta api di New Delhi, India, Selasa (16/10). Hasil survei terhadap 104 negara yang dirilis bulan lalu menemukan bahwa sekitar 1,3 miliar orang hidup dalam kemiskinan. (AP Photo/Altaf Qadri)

Liputan6.com, Jakarta Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengkritisi implementasi komitmen Addis Ababa Action Agenda, terkait pembiayaan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di 2030.

Pasalnya, kesenjangan pembiayaan SDGs global yang disepakati pada 2015 untuk mencapai ekonomi yang lebih makmur dan berkelanjutan tembus hingga USD 4 triliun, atau setara Rp 64,8 kuadriliun per tahun.

Hal itu disampaikan Suharso saat bertandang ke New York, Amerika Serikat untuk menghadiri rangkaian pertemuan Economic and Social Council Financing for Development Forum 2024 (FfD Forum) yang digelar di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 22-25 April.

"Namun, enam tahun menuju garis finis TPB/SDGs, kita belum mendekati komitmen apa pun. Dengan kesenjangan pembiayaan TPB/SDGs global mencapai USD 4 triliun per tahun, dan pembiayaan iklim dan komitmen Official Development Assistance tetap belum terpenuhi, maka menutup kesenjangan pembiayaan tentu menjadi salah satu tantangan mendesak bagi kita semua," tegasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (24/4/2024).

Pada sesi General Debate, Indonesia memaparkan sejumlah solusi konkret untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan pembangunan berkelanjutan. Solusi ini di antaranya, pertama, meningkatkan implementasi mekanisme dan instrumen pembiayaan dalam seluruh tingkatan.

Kedua, mereformasi arsitektur finansial internasional untuk mencapai tujuan pembangunan global dengan kolaborasi erat antara pembuat kebijakan PBB dan Institusi Keuangan Internasional. Khususnya terkait peningkatan kapasitas pemberian pinjaman dan pembiayaan yang bersifat concessional, serta peningkatan representasi negara berkembang. Termasuk kemajuan reformasi pajak internasional, penanganan krisis utang, dan peningkatan sistem peringkat kredit.

Ketiga, melampaui pendekatan business as usual dan mengadopsi inovasi pembiayaan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan secara lebih cepat.

 

Selanjutnya

Transisi Energi
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/Kepala Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, Indonesia setidaknya membutuhkan anggaran yang besar yakni Rp 794,6 triliun pertahun untuk melakukan transisi energi.

Indonesia turut mencontohkan sejumlah praktik baik sistem pembiayaan inovatif yang menjadi kunci dalam isu ini kesenjangan pembiayaan.

Di antaranya, penerbitan Surat Obligasi Biru Pemerintah yang ditawarkan kepada publik untuk pertama kalinya di dunia, Obligasi TPB/SDGs pertama di Asia dan Sukuk Hijau.

Global Blended Finance Alliance (GBFA) merupakan aliansi untuk mendorong solusi mengatasi isu terbatasnya pembiayaan pembangunan berkelanjutan melalui pembiayaan campuran.

"Kami mengundang negara-negara anggota untuk bergabung dengan GBFA. Hanya dengan memupuk kolaborasi, kita dapat mengatasi tantangan bersama. Indonesia siap untuk berkontribusi dalam upaya percepatan SDGs," pungkas Suharso.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya