Kejar Emisi Nol Bersih, Indonesia Butuh Investasi Segini

Perusahaan konsultan manajemen global terkemuka, Kearney menyatakan, investasi untuk mengejar emisi nol bersih itu untuk di berbagai sektor utama termasuk pertanian, kehutanan dan lainnya.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 14 Sep 2024, 13:00 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2024, 13:00 WIB
Kejar Emisi Nol Bersih, Indonesia Butuh Investasi Segini
Perusahaan konsultan manajemen global terkemuka, Kearney, merilis laporan terbaru bertajuk Indonesia’s Pathway to Net Zero 2060. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan konsultan manajemen global terkemuka, Kearney merilis laporan terbaru bertajuk Indonesia’s Pathway to Net Zero 2060. 

Temuan Kearney menyoroti pada perlunya Indonesia untuk melakukan investasi strategis sebesar USD 2,4 triliun atau setara Rp 37,05 kuadriliun, guna mengejar emisi nol bersih antara 2022 dan 2060.

Investasi ini diperuntukan di berbagai sektor utama, termasuk agriculture, forestry, and other land use (AFOLU), energi, transportasi, limbah, dan industries process and production use (IPPU). Investasi besar yang rata-rata berjumlah USD 62 miliar, atau setara Rp 957,28 triliun per tahun ini diklaim sangat penting bagi Indonesia dalam mencapai target ambisinya terhadap iklim.

Presiden Direktur Kearney Indonesia Shirley Santoso mengatakan, investasi makro merupakan tulang punggung pertumbuhan inovasi dan ekonomi berkelanjutan.

"Dengan mengarahkan sumber daya ke sektor-sektor yang memiliki dampak signifikan dengan potensi pertumbuhan yang tinggi, kita dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, mengurangi kemiskinan, dan mendorong inovasi yang sejalan dengan tujuan keberlanjutan global. Investasi ini penting untuk memastikan masa depan Indonesia yang resilien dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan mengamankan posisi kepemimpinan negeri ini di pasar global," ujarnya, Sabtu (14/9/2024).

Laporan Kearney menyoroti pentingnya investasi di beberapa bidang, antara lain energi terbarukan. Shirley menekankan, Indonesia perlu beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi hijau, termasuk tenaga surya, angin, air, dan panas bumi. 

"Hal ini akan memerlukan investasi besar di sektor infrastruktur energi dan pengembangan teknologi. Laporan mencatat bahwa bauran listrik di Indonesia sangat condong ke arah bahan bakar fosil. Pada tahun 2022, hanya 15 persen kapasitas listrik yang terpasang di Indonesia berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT)," bebernya. 

 

Investasi Besar

Kendaraan Bermotor Wajib Lulus Uji Emisi
Kepadatan arus lalu lintas di jalan Gatot Subroto, Pancoran, Jakarta, Senin (13/11/2023). (merdeka.com/Imam Buhori)

Investasi pada kendaraan listrik, biofuel, dan infrastruktur transportasi umum juga jadi kewajiban untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi. Namun, laporan menyoroti bahwa sistem transportasi umum di Indonesia sering kali terbatasi karena adanya jangkauan yang buruk, kurang dapat diandalkan, kelayakan armada yang kurang optimal, dan kurangnya sistem tarif yang terintegrasi. 

"Meskipun pemerintah telah berinvestasi pada jalan tol, angkutan umum, dan mempromosikan kendaraan listrik, angkutan umum perlu terus ditingkatkan dalam hal jangkauan, pergerakan menuju emisi yang lebih rendah atau tanpa emisi, dan integrasi yang baik antara transportasi multi-moda dan sistem tarif, serta reliabilitasnya," imbuhnya. 

Investasi besar juga diperlukan dalam meningkatkan infrastruktur pengelolaan sampah, mendorong aktivitas daur ulang, dan mengurangi emisi metana dari lokasi pembuangan sampah. Laporan tersebut mencatat hanya 10 persen sampah di Indonesia yang didaur ulang.

 

Investasi di Penelitian

Kendaraan Bermotor Wajib Lulus Uji Emisi
Sementara untuk kendaraan roda empat sebesar Rp500 ribu. (merdeka.com/Imam Buhori)

Selanjutnya, investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan juga diperlukan, termasuk hidrogen, carbon capture and storage (CCS), dan praktik pertanian berkelanjutan sangat penting untuk dekarbonisasi jangka panjang. Hidrogen ramah lingkungan dijlaim dapat menjadi pendorong utama upaya dekarbonisasi Indonesia dalam jangka panjang.

Principal Kearney Indonesia Som Panda mengemukakan, berinvestasi pada hidrogen, flow batteries untuk kendaraan listrik, dan direct air CCS dapat membuka potensi dekarbonisasi yang sangat besar. Sehingga memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam inovasi berkelanjutan. 

"Teknologi-teknologi ini tidak hanya berpotensi dapat mengurangi emisi tetapi juga dapat menciptakan industri baru, menarik investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Fokus yang kuat pada penelitian dan pengembangan di bidang-bidang tersebut sangatlah penting bagi Indonesia dalam mencapai tujuan ambisiusnya pada iklim, dan mengamankan posisinya dalam hal ekonomi hijau secara global," tuturnya.

Indonesia Punya 400 Proyek Tekan Emisi Karbon, Tapi Butuh Dana Negara Maju

Kendaraan Bermotor Wajib Lulus Uji Emisi
Jika kendaraan bermotor tak lolos uji emisi, maka Polisi akan mengenakan sanksi. (merdeka.com/Imam Buhori)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah menyiapkan 400 proyek untuk mengurangi tingkat emisi karbon. Namun, tantangannya, Indonesia membutuhkan bantuan pendanaan.

"Untuk mencapai target 2060 tanpa emisi, tetapi kami berusaha untuk mencapainya lebih awal dari 2060. Kami sudah memiliki 400 proyek yang sedang berjalan saat ini," kata Menko Luhut dalam Indonesia International Sustainability Forum 2024, di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024).

Misalnya, ada rencana untuk menyetop operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, di Cirebon, Jawa Barat. Dia menegaskan ini memjadi langkah konkret yang bisa dilakukan Indonesia.

"Tetapi masalah yang terus kami bahas adalah tentang pembiayaan," tegasnya.

Dia mencoba membandingkan kontribusi emisi karbon Indonesia dan negara lainnya ke skala global. Sebagai contoh, tingkat emisi karbon Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Amerika Serikat.

"Saya sudah menjelaskan hal ini kepada Profesor Yellen (Menteri Keuangan AS, Janet Yellen) selama G20, saya katakan Indonesia hanya 2,5 ton per kapita. Sementara AS sudah 14 hingga 15 ton per kapita, dan baseline-nya sekitar 4,5 ton per kapita. Jadi kita harus adil dalam melihat ini," tuturnya.

Menko Luhut menegaskan, bantuan pembiayaan itu penting bagi Indonesia melaksanakan sejumlah proyek pengurangan emisi karbon. Pasalnya, pada saat yang sama, Indonesia juga perlu menjaga tingkat pertumbuhan ekonominya tetap stabil.

"Jadi komitmen kita terhadap emisi nol sudah ada, tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi bagaimana kita melakukannya? Kita juga harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi kita karena beban dasar harus ada. Tanpa beban dasar, itu dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi kita," bebernya.

 

 

Infografis Serba-serbi Rumah Ramah Lingkungan
Infografis Serba-serbi Rumah Ramah Lingkungan. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya