Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Selasa, dibuka naik dipicu oleh peningkatan proyeksi pasar terhadap pemotongan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.
Pada awal perdagangan Selasa pagi, kurs rupiah menanjak 50 poin atau 0,32 persen menjadi 15.352 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 15.402 per dolar AS.
Baca Juga
Advertisement
"Pemicunya adalah meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada September 2024, serta laporan dari Wall Street Journal dan Financial Times yang menyebutkan bahwa keputusan The Fed akan didasarkan pada asesmen inflasi dan ketenagakerjaan," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede dikutip dari Antara, Selasa (17/9/2024).
The Fed diperkirakan akan mengambil sikap yang lebih agresif dalam memangkas suku bunga kebijakan pada pertemuan kebijakan pekan ini.
Perkiraan pasar saat ini menunjukkan kemungkinan sebesar 62 persen bahwa Fed akan memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada hari Rabu, sementara kemungkinan pemangkasan yang lebih kecil sebesar 25 bps berada pada angka 38 persen, sebagaimana ditunjukkan oleh FedWatch Tool dari CME.
Pada pekan ini, pasar akan menantikan keputusan dari bank sentral global yakni Bank of Japan, Bank of England, Bank Indonesia, dan Fed, untuk melihat arah kebijakan suku bunga bank sentral global dalam jangka pendek.
Neraca Perdagangan Indonesia
Selain itu, data neraca perdagangan Indonesia Agustus 2024 akan dirilis hari ini. Josua memproyeksikan surplus perdagangan akan meningkat menjadi 2,29 miliar dolar AS dari 0,47 miliar dolar AS pada Juli 24.
Surplus yang lebih tinggi pada Agustus 2024 diperkirakan disebabkan oleh tren kenaikan ekspor, yang diikuti oleh penurunan impor.
Sepanjang pekan lalu, nilai tukar rupiah terdepresiasi 0,23 persen secara keseluruhan.
Ia memperkirakan nilai tukar rupiah akan berada di rentang 15.325 per USD sampai dengan 15.425 per USD pada perdagangan hari ini.
Antisipasi Dampak Rambatan Global, Begini Strategi Bank Indonesia Jaga Nilai Tukar Rupiah
Sebelumnya, nilai tukar Rupiah menguat dipengaruhi bauran kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia (BI) dalam memitigasi dampak rambatan global. Nilai tukar Rupiah per 26 Juli 2024 menguat 0,52% mtd dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2024.
Melansir siaran pers Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hasil Rapat Berkala KSSK III 2024, Minggu (4/8/2024), jika dibandingkan dengan level akhir Desember 2023, nilai tukar Rupiah melemah 5,48% ytd sejalan dengan kondisi global, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang negara-negara kawasan, seperti Won Korea (6,93% ytd) dan Yen Jepang (8,27% ytd).
Kinerja Rupiah yang membaik tersebut ditopang oleh komitmen BI menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah serta berlanjutnya aliran masuk modal asing dan surplus neraca perdagangan barang.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2024 meningkat menjadi sebesar 140,2 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Ke depan, nilai tukar Rupiah diperkirakan bergerak stabil dengan kecenderungan menguat sejalan dengan menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi, dan tetap baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta komitmen BI untuk terus menstabilkan nilai tukar Rupiah yang kemudian mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing.
Bank Indonesia terus mengoptimalkan seluruh instrumen moneter, termasuk memperkuat strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI, dan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.
Advertisement
Bank Indonesia Masih Tahan Suku Bunga Acuan, Ada Potensi Turun?
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) terpaksa masih menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25 persen. Kebijakan moneter ini diambil lantaran bank sentral masih fokus memitigasi dampak risiko global, khususnya terkait penurunan suku bunga acuan The Fed.
"Untuk moneter, terpaksa nih karena di global orang masih nunggu-nunggu diturunkannya Fed Fund Rate, kemudian volatilitas dari pasar keuangan global masih tinggi, terpaksa kita menempuh kebijakan moneter yang belum akomodatif," ujar Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono di sela acara FEKDI-KKI di JCC Senayan, Jakarta, Sabtu (3/8/2024).
Erwin menyatakan, penahanan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) ini juga bermaksud untuk menjaga nilai tukar rupiah yang tengah dalam tekanan hebat.
"Rupiah terdepresiasi. Walaupun lebih rendah daripada peer group kita, tapi kan untuk mempertahankan itu kita terpaksa membuat kebijakan moneter yang belum akomodatif," ungkap dia.
Mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Erwin menambahkan, pihak bank sentral pastinya bakal buka peluang untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan apabila gejolak keuangan di pasar global sudah mereda.
"Moneter terpaksa belum akomodatif. Kalau moneter akomodatif, kami masih hati-hati karena memang nanti jangan-jangan nilai tukarnya semakin berat," tegas dia.
Ia menekankan, faktor penentu kebijakan moneter bukan hanya berasal dari dan negeri saja. Terlebih situasi dunia saat ini masih terus memanas, memaksa pihak regulator harus tetap berhati-hati dalam mengambil tiap keputusan.
"Tergantung keuangan mereda atau tidak. Nilai tukar dan sebagainya bukan ditentukan dalam negeri, tapi juga faktor di luar negeri," pungkas Erwin.