Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mempermudah pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta pejabatnya.
Hal ini melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59 Tahun 2024 (PMK 59/2024) tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional Serta Pejabatnya.
Baca Juga
PMK 59/2024 secara resmi disahkan pada 2 September 2024 dan mulai berlaku pada 1 Oktober 2024. Kemudahan pembebasan PPN dan PPnBM diberikan melalui perubahan mekanisme pemberian fasilitas yang semula manual menjadi elektronik.
Advertisement
"PMK ini merupakan penyesuaian pengaturan pemberian kemudahan di bidang PPN sesuai dengan prinsip trust but verify,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti seperti dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (17/9/2024).
Dwi juga menambahkan penerbitan PMK 59/2024 merupakan salah satu upaya DJP dalam meningkatkan tata kelola atas pemberian pembebasan PPN atau PPN dan PPnBM. Di dalam PMK 59/2024, subjek yang dapat memanfaatkan pembebasan PPN dan PPnBM yaitu Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta pejabatnya.
"Baik Perwakilan Negara Asing maupun pejabatnya harus memiliki nomor identitas perpajakan sebagai syarat untuk memperoleh pembebasan PPN atau PPN dan PPnBM dengan mengikuti tata cara penerbitan NPWP,” tambah Dwi.
Ketentuan lebih lengkap dapat dilihat pada Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional Serta Pejabatnya. Salinan tersebut dapat diakses dan diunduh pada laman pajak.go.id.
Sri Mulyani Sudah Kantongi Pajak Digital Rp 27,85 Triliun, Terbanyak dari Sini
Sebelumnya, hingga 31 Agustus 2024, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital atau pajak digital sebesar Rp27,85 triliun.
Jumlah tersebut berasal dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp22,3 triliun, pajak kripto sebesar Rp 875,44 miliar, pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp2,43 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp2,25 triliun.
Hingga 31 Agustus 2024, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital atau pajak digital sebesar Rp27,85 triliun.
Jumlah tersebut berasal dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp22,3 triliun, pajak kripto sebesar Rp 875,44 miliar, pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp2,43 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp2,25 triliun.
Advertisement
Penerimaan Pajak
Pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp2,43 triliun sampai dengan Agustus 2024. Penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp446,39 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp872,23 miliar penerimaan tahun 2024.
Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp765,27 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp354,2 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,31 triliun.
Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP. Hingga Agustus 2024, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp 2,25 triliun. Penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,12 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp726,41 miliar penerimaan tahun 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp152,74 miliar dan PPN sebesar Rp2,09 triliun.
Keadilan dan Kesetaraan
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi.
Dwi juga menambahkan pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.
Advertisement