Pemerintahan Prabowo Bakal Pikul Beban Tambahan, Apa Itu?

Pemeritahan Prabowo-Gibran diminta melakukan evaluasi menyeluruh terkait seluruh pengaturan industri tembakau.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Okt 2024, 11:00 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2024, 11:00 WIB
FOTO: Bank Dunia Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pemandangan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

 

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pakar kebijakan publik dan ahli hukum menilai langkah untuk mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada aturan terkait dengan industri tembakau dinilai cacat hukum karena FCTC tidak diakui dan diratifikasi oleh Indonesia.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI), Trubus Rahadiansyah, menyatakan dampak dari rancangan aturan yang mematok FCTC sebagai acuan perumusan aturannya akan menjadi beban tambahan bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran.

Padahal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintahan baru, termasuk aturan melenceng jauh dari Undang-Undang (UU) Kesehatan yang telah disahkan.

“Banyak aturan yang bertentangan dengan UU Kesehatan-nya sendiri. Padahal, seharusnya tidak boleh keluar dan melebihi dari mandat UU Kesehatan, mestinya hanya bisa menerjemahkannya menjadi aturan teknis. Selain itu, aturan turunan tersebut tidak boleh menambah klausul dan norma baru, yang mana di UU Kesehatan-nya sendiri tidak ada aturan tersebut,” imbuhnya.

Dalam hal ini, Trubus mengatakan kebijakan yang ekstrim ini tidak tepat untuk dijalankan pada industri tembakau yang berkontribusi besar terhadap serapan tenaga kerja dan perekonomian Indonesia. Ia menyarakan agar pemerintahan baru untuk memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan tenaga kerja di Indonesia terutama di tengah terjadinya deflasi di lima bulan beruntun.

“Seharusnya, pemeritah melakukan evaluasi menyeluruh terkait seluruh pengaturan industri tembakau. Industri ini perlu didukung untuk menyerap tenaga kerja yang besar guna menekan angka deflasi. Ini yang semestinya menjadi perhatian pemerintah, khususnya pemerintahan baru,” tegasnya.

 

Aturan Fiskal dan Nonfiskal

20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Saat ini, industri tembakau telah dibebani oleh lebih dari 480 aturan yang mencakup aturan fiskal dan nonfiskal. Banyak di antara aturan tersebut yang tidak memiliki pengawasan yang jelas atau implementasi yang mumpuni. Hal ini menyebakan industri tembakau legal semakin tertekan dan justru membuat peredaran rokok ilegal semakin meningkat.

Senada, Ahli Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, menekankan ada alasan besar mengapa Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara produsen tembakau yang terbesar dan banyak rantai pasok industri domestik yang terdampak.

Mengutip teori dalam buku Nicotine War, Ali menyatakan regulasi yang restriktif terhadap industri tembakau merupakan salah satu intervensi lembaga anti tembakau asing guna untuk terus mendorong agenda ratifikasi FCTC di Indonesia.

 

Rugikan Banyak Sektor

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sehingga, Ali menilai PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes dinilai inkonstitusional dan berpotensi merugikan banyak sektor yang terkait dengan industri tembakau di dalam negeri.

“Haram hukumnya FCTC menjadi rujukan. Aturan (PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes) yang dibuat jelas kontradiktif (terhadap UU Kesehatan) dan mengacu pada FCTC. Ini merupakan pembangkangan terhadap konstitusi,” terang Ali.

Maka dari itu, Ali menegaskan apabila PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes ini tidak dikaji ulang, maka akan berdampak signifikan ke banyak hal, termasuk pada target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% yang digagas oleh pemerintahan baru Prabowo-Gibran.

“Setiap Presiden punya kepentingan ketatanegaraannya sendiri-sendiri, sesuai dengan program prioritasnya. Jadi saya berharap pemerintahan baru dapat mengakomodir dan berpihak ke industri tembakau,” pungkasnya.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya