Barang Mewah Kena PPN 12 Persen, Awas Warga Miskin Ikut Terdampak

Rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada barang-barang mewah memunculkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 09 Des 2024, 20:44 WIB
Diterbitkan 09 Des 2024, 20:44 WIB
Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak. Rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada barang-barang mewah memunculkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. (Liputan6.com/Andri Wiranuari)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada barang-barang mewah memunculkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. 

Mengomentari hal ini, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan salah satu argumen yang sering digunakan untuk mendukung kebijakan ini adalah pajak tersebut hanya akan memengaruhi kalangan atas atau mereka yang mampu membeli barang-barang mewah

Achmad menuturkan jika kita telaah lebih dalam, dampak dari kebijakan ini tidak sesederhana itu. Peningkatan tarif PPN untuk barang mewah, meskipun secara langsung menyasar kelompok ekonomi atas, juga akan memberikan dampak yang merambat ke kelompok masyarakat menengah dan kecil.

“Kebijakan PPN yang tinggi untuk barang mewah sebenarnya menciptakan risiko bagi kelompok menengah yang sedang berusaha meningkatkan taraf hidupnya. Kelompok menengah sering kali menjadi tulang punggung ekonomi nasional, tetapi mereka juga paling rentan terhadap kebijakan fiskal yang kurang memperhatikan dampak lanjutan,” jelas Achmad dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (8/12/2024).

Achmad menambahkan ketika harga barang yang dulunya terjangkau oleh mereka menjadi lebih mahal, daya beli kelompok ini akan melemah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, menurut Achmad kelompok menengah sering kali menggunakan jasa atau produk yang berhubungan dengan barang mewah, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Misalnya, kelompok menengah mungkin menyewa kendaraan premium untuk acara tertentu, membeli barang elektronik berkualitas tinggi untuk pekerjaan, atau menggunakan layanan hotel yang dikenakan tarif lebih tinggi karena dianggap sebagai barang mewah. 

“Dengan kenaikan tarif pajak, pengeluaran mereka untuk kebutuhan ini akan meningkat, mengurangi kapasitas mereka untuk menabung atau berinvestasi,” jelasnya.

 

Spillover Effect

Penerimaan Pajak 2022 Capai Target
Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Kamis (29/12/2022). Penerimaan pajak tercatat melampaui target 2022 meskipun tanpa pelaksanaan program pengungkapan sukarela atau PPS dan kenaikan tarif pertambahan nilai atau PPN menjadi 11%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Achmad menjelaskan dampak kebijakan ini juga dirasakan oleh kelompok ekonomi kecil melalui mekanisme ekonomi yang disebut “spillover effect”. Ini ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat. 

“Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang kebutuhan pokok. Akhirnya, konsumen dari semua lapisan ekonomi harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang kebutuhan sehari-hari,” jelasnya.

Selain itu menurutnya, kelompok kecil juga sering kali bekerja di sektor-sektor yang mendukung konsumsi barang mewah. Ketika permintaan barang mewah menurun akibat kenaikan pajak, pekerjaan mereka pun ikut terdampak. 

Misalnya, pekerja di industri perhotelan, catering untuk acara-acara besar, atau bahkan pedagang kecil yang berjualan di sekitar kawasan mewah bisa kehilangan pendapatan jika konsumsi di sektor ini menurun.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya